IBX-Jakarta. Surat Tagihan Pajak atau STP merupakan surat yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) dalam rangka melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga ataupun denda.
Adapun dasar dari penerbitan STP melansir dari pajak.com (8/07/2024), adalah sebagai berikut:
- STP diterbitkan berdasarkan nota penghitungan, lebih lanjut nota penghitungan dibuat berdasarkan laporan hasil penelitian;
- Berdasarkan hasil pemeriksaan; dan/atau
- Berdasarkan hasil pemeriksaan ulang.
Sementara itu, STP yang diterbitkan DJP tersebut difungsikan sebagai:
- Sarana untuk memberikan pengenaan sanksi pada Wajib Pajak yang mengalami kelalaian, yang berupa sanksi denda atau sanksi bunga;
- Bentuk upaya koreksi terhadap jumlah pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Wajib Pajak; dan
- Sarana untuk melakukan penagihan pajak.
Selain fungsi dan dasar penerbitan STP sebagaimana yang telah disebutkan di atas, dalam hal diterbitkannya STP tersebut terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan Wajib Pajak di antaranya:
- Wajib Pajak berkewajiban melakukan pembayaran utang pajak sebelum jatuh tempo;
- Memenuhi komitmen dalam angsuran/penundaan pembayaran pajak;
- Berkewajiban untuk bersifat kooperatif dalam tindakan penagihan pajak; dan
- Wajib Pajak dilarang melakukan hal-hal yang melanggar Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dalam Penagihan Pajak yang berakibat pada tindakan pidana, seperti memindahtangankan, menyembunyikan, menghilangkan, memindahkan ha katas barang yang disita.
Lebih lanjut, selain kewajiban yang harus dipenuhi Wajib Pajak atas STP tersebut, Wajib Pajak juga memperoleh hak setelah menerima STP, diantaranya:
- Mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada DJP sesuai dengan Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP);
- Hak ini dilakukan apabila sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya dan Wajib Pajak tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk melunasi sanksi administrasi tersebut. Atas dasar itu, Wajib Pajak dapat melakukan upaya hukum berupa permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak;
- Pengajuan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dapat dilakukan maksimal 2 kali oleh Wajib Pajak untuk setiap Surat Tagihan Pajak;
- Mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar kepada DJP sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf c UU KUP. Pengajuan ini dilakukan apabila hal dasar pengenaan pajak kurang dibayar dan/atau sanksi administrasi yang ditagihkan melalui Surat Tagihan Pajak tidak seharusnya dikenakan kepada Wajib Pajak;
- Dengan demikian, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar kepada DJP. Pengajuan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan maksimal 2 kali oleh Wajib Pajak untuk setiap Surat Tagihan Pajak; dan
- Melunasi jumlah pajak yang masih terutang dan/atau sanksi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak paling lama 1 bulan sejak tanggal penerbitan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 9 ayat (3) UU KUP. Dalam hal Wajib Pajak meyakini adanya kesalahan sebagaimana tercantum dalam Surat Tagihan Pajak dan memiliki dana untuk melunasi, maka Wajib Pajak dapat melunasi jumlah pajak yang masih terutang dan/atau sanksi yang tercantum dalam mata uang rupiah dan dollar Amerika Serikat.
Sumber: Kewajiban Wajib Pajak setelah Terima Surat Tagihan Pajak (pajak.com)