Oleh : Maskudin
Definisi BEPS
Strategi perencanaan pajak yang memanfaatkan celah dan ketidaksinkronan peraturan perpajakan antar negara dimana untuk tujuan perpajakan laba menjadi “hilang” atau untuk memindahkan laba ke tempat yang mempunyai sedikit atau tidak ada aktivitas sama sekali yang berakibat pajak menjadi kecil atau tidak ada pajak sama sekali.
Tujuan dari beberapa rencana aksi BEPS adalah :
- Untuk menjamin bahwa laba akan dikenakan pajak dimana aktivitas ekonomi yang menghasilkan laba dilakukan dan dimana nilai diciptakan sehingga penerimaan pajak suatu negara terjamin.
- Untuk menciptakan konsensus tunggal perpajakan internasional mengacu yang pada BEPS dengan tujuan untuk mengamankan basis pajak
- Untuk mencegah atau meminimalisasi penghindaran pajak.
Terdapat 15 rencana aksi BEPS sebagai berikut :
Aksi 1 : Address the Tax Challenges of Digital Economy
Yang hendak dicapai dalam aksi ini adalah adanya suatu konsesus global terkait koordinasi pemajakan diantara negara-negara yang menjadi pasar dari produk ekonomi digital dan dan negara tempat ultimate parent company dari perusahaan ekonomi digital berada.
Perkembangan ekonomi digital yang terus meningkat dan Indonesia adalah salah pasar yang sangat besar bagi perusahaan TI dunia, tentunya hal ini mengandung potensi pajak yang besar di sektor tersebut. Oleh karena itu Indonesia terus menggodok aturan-aturan untuk mengenakan pajak digital tersebut. Aturan terkini yaitu :
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang telah dikeluarkan pada 31 Maret 2020
- Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48 Tahun 2020
Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, dan Penyetoran, serta Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan melalui Sistem Elektronik
Aksi 2 : Neutralise the effects of hybrid mismatch arrangement.
Ketidaksinkronan aturan pajak antar negara dalam memperlakukan entitas ekonomi dan instrument dapat memungkinkan perusahaan dikenakan pajak berganda atau tidak dikenakan pajak sama sekali. Misalnya dalam transaksi pernjanjian hutang, pada saat pembayaran bunga suatu negara menganggapnya sebagai biaya bunga akan tetapi negara penerima memperlakukan sebagai dividen yang tidak dikenakan pajak.
Untuk mengatasi hal tersebut beberapa rekomendasi dapat dilakukan berupa amandemen terhadap hukum pajak domestik dan tax treaty sehingga terjadi sinkronisasi peraturan pajak antar negara.
Aksi 3 : Strengthen Controlled Foreign Company Rules
Perusahaan multinasional melakukan tindakan memindahkan pendapatan ke entitas Offshore dengan membentuk sebuah entitas untuk menghindari pajak. Aturan CFC dapat dapat mengatasi masalah ini termasuk pendapatan yang dialirkan ke entias Offshore dari entitas induk.
Untuk merespon aksi ini Indonesia telah menerbitkan PMK-107/PMK.03/2017 yang sudah diubah menjadi PMK-93/PMK.03/2019 tentang Penetapan Saat Diperolehnya Dividen dan Dasar Penghitungannya Oleh Wajib Pajak Dalam Negeri Atas Penyertaan Modal Pada Badan Usaha di Luar Negeri Selain badan Usaha yang Menjual Sahamnya di Bursa Efek
Aksi 4 : Limit Base Erosion via Interest Deduction and Other Financial Payments.
Banyak perusahaan multinasional membebankan utang yang berlebihan untuk operasional perusahaan sehingga menyebabkan kelebihan pembebanan biaya bunga untuk mengurangi laba kena pajak.
Untuk mengatasi hal tersebut di Indonesia telah diterbitkan :
- PMK-169/PMK.03/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan.
- PER-25/PJ/2017 tentang Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan Dan Tata Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri
Aksi 5 : Counter Harmful Tax Practices More Effectively, Taking Into Account Transperancy and Substance.
Beberapa negara berlomba-lomba untuk menerapkan tarif pajak rendah hal ini akan dimanfaatkan oleh perusahaan global untuk meminimalisasi pajak yang harus dibayar. Termasuk dalam pengertian Harmful Tax adalah jika suatu negara mengenakan pajak rendah atau tidak mengenakan pajak sama sekali, tidak transparan dan tidak melakukan pertukaran informasi teramasuk juga pengoperasian bisnis tanpa aktifitas substansial.
Indonesia sejak 2017 telah merespon dengan baik situasi tersebut dengan menerbitkan beberapa peraturan sebagai berikut :
- Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
- UU Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-undang beserta perubahannya
Aksi 6 : Prevent Treaty Abuse
Banyak perusahaan menyalahgunakan taxtreaty untuk menghindari pajak salah satunya dengan membentuk perusahaan perantara. Menurut OECD penyalahgunaan P3B atau Tax Treaty Abuse merupakan sumber masalah utama terjadinya aksi BEPS. Jenis-jenis penyalahgunaan dapat berupa Treaty Shopping dan Rule Shopping yang meliputi penyalahgunaan ketentuan resident, kepemilikan, ketentuan time test dan cakupan dan karakteristik jenis penghasilan.
Aksi 7 : Prevent the Artificial Avoidance or Permanent Establishment Status
Tax Treaty umumnya mensyaratkan bahwa negara sumber dapat mengenakan pajak apabila terdapat BUT di negara tersebut, namun demikian definisi BUT masih konvensional dan sekarang bisnis terus berkembang yang membuka peluang pengindaran pajak dengan memanfaatkan status BUT.
Untuk mencegah hal tersebut Indonesia telah menerbitkan :
- PMK-35/PMK.03/2019 tentang Penentuan Bentuk Usaha Tetap (BUT). Peraturan tersebut lebih mempertegas lagi pengertian BUT yang sudah dinyatakan dalam UU KUP dan PPh.
- Surat Edaran No. SE-4/SE.PJ/2017 tentang Penentuan BUT Bagi Subjek Pajak Luar Negeri yang Menyediakan Layanan Aplikasi dan/atau Layanan Konten Melalui Internet (bersifat parsial dan hanya merupakan panduan bagi internal DJP dalam menetapkan status perusahaan-perusahaan digital berbasis internet (Over The Top/OTT) di Indonesia).
Aksi 8-10 : Assure that Transfer Pricing Outcomes are in line with Value Creation
Perusahaan multinasional yang memiliki afiliasi yang tersebar di berbagai negara seringkali memindahkan fungsi, asset dan risikonya ke afilasinya melalui skema transfer pricing dengan tujuan meminimalkan beban pajak. Aksi ini bertujuan untuk mengenakan pajak di negara dimana substansi ekonomi diciptakan (value creation).
OECD untuk hal tersebut telah menerbitkan “Transfer Pricing Guidance on Financial Transactions: Inclusive Framework on BEPS: Actions 4, 8-10” tanggal 11 Februari 2020.
Indonesia sendiri dalam hal ini sudah menerbitkan beberapa peraturan terkait hal tersebut yaitu PER-43/PJ/2010, PER-32/PJ/2011, PER-22/PJ/2013, SE-50/PJ/2013, PMK-22/PMK.03/2020.
Aksi 11 : Measuring and Monitoring BEPS
Aksi ini dikhususkan untuk mengukur skala dan dampak BEPS dan menjadi alat untuk memonitor dan mengevaluasi efektifitas dan dampak ekonomi dari tindakan yang diambil untuk mengatasi BEPS.
OECD telah melaunching Corporate Tax Statistics database pada Januari 2019 yang akan mengolah berbagai data yang relevan untuk menganalisis BEPS dan pajak perusahaan.
Aksi 12 : Require Tax Payer to Disclose their Aggressive Tax Planning Arrangements
Aksi ini menghendaki Pembayar Pajak (Wajib Pajak) mengungkap skema perencanaan pajak yang agresif dalam pelaporan pajak. Dengan adanya informasi terkait skema tersebut otoritas pajak dapat melakukan deteksi dini terhadap Aggressive Tax Planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak sehingga dapat mengidentifikasi risiko dan mendapatkan solusi atas skema tersebut.
Untuk mengatasi masalah tersebut beberapa rekomendai dibuat dalam bentuk amandemen atas Undang-undang Pajak Penghasilan.
Aksi 13 : Re-Examine Transfer Pricing Documentation
Sebelumnya tidak ada standar dalam pembuatan dokumentasi transfer pricing (TP Doc) di dunia, akibatnya penyajian TP Doc tersebut beragam bentuknya. Hal tersebut bisa mengakibatkan terjadinya informasi asimetri antara Otoritas Pajak dan Wajib Pajak. Menanggap hal tersebut OECD membuat standarisasi pembuatan TP Doc melalui pendekatan tiga tingkat yaitu Master File, Local File dan Country by Country Reporting.
Indonesia sudah merespon aksi ini dengan menerbitkan PMK-213/PMK.03/2016 tentang Jenis Dokumen atau Informasi Tambahan yang Wajib Disimpan oleh Wajib Pajak yang Melakukan Transaksi dengan para pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa dan Tatacara Pengelolaannya.
Aksi 14 : Make Dispute Resolution Mechanism More Effective
Terjadinya sengketa perpajakan internasional seringkali diselesaikan tidak secara efektif dan efisien. Agar tidak mengganggu bisnis perusahaan maka OECD membuat penyelesaian sengketa melakui mekanisme Mutual Agreement Procedure (MAP).
Dengan semakin intensifnya pemeriksaan pajak terkait transfer pricing dan perpajakan internasional lainnya, permintaan penyelesaian sengketa perpajakan internasional melalui semakin meningkat dari tahun ke tahun
Terkait dengan aksi ini Indonesia telah merespon dengan menerbitkan :
- PMK-49/PMK.03/2019 tentang Tatacara Pelaksanaan Prosedur Persetujuan Bersama.
- PMK-22/PMK.03/2020 tentang Tatacara Pelaksanaan Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement).
Aksi 15 : Develop a Multinational Instrument
Dikarenakan implementasi aksi-aksi BEPS tersebut diatas pada gilirannya harus mengubah tax treaty dan ketentuan domestik yang memerlukan waktu yang lama dan tidak bertentangan dengan perjanjian bilateral yang sudah ada, maka dibutuhkan sebuah instrument multilateral (Multilateral Instrument) yang disepakati bersama untuk menjalankan aksi BEPS tersebut.