IBX – 20 Februari 2023. Mengutip dari laman www.cnbcindonesia.com. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah bersiap memajaki perusahaan-perusahaan multinasional. Penerapan ini akan dilakukan jika kesepakatan penerapan Pilar 1 OECD/G20 Inclusive Framework tercapai.
Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama mengatakan pengenaan pajak terhadap perusahaan itu akan dilaksanakan dalam bentuk pengenaan pajak transaksi elektronik yang telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020.
“Untuk PPN sudah diterapkan, yang lebih dikenal dengan PPN PMSE. Sedangkan untuk Pajak Penghasilan (PPh) ditunda karena menunggu kesepakatan Pilar 1,” kata Mekar kepada CNBC Indonesia, Jumat (17/2/2023).
Ia menargetkan, pengenaan pajak terhadap perusahaan global itu bisa terlaksana pada pertengahan atau akhir 2024, bila kesepakatan penerapan Pilar 1 nya tidak ada kendala pada tahun ini, penandatanganan Multilateral Convention Pilar 1 rencananya berlangsung pada Juli 2023.
“Jadi pajak yang berdasarkan penghasilan untuk transaksi digital baru akan diterapkan setelah kesepakatan Pilar 1 melalui penandatanganan Multilateral Convention (MLC) yang direncanakan di Juli 2023,” ungkap Mekar.
Ia menargetkan, pengenaan pajak terhadap perusahaan global itu bisa terlaksana pada pertengahan atau akhir 2024, bila kesepakatan penerapan Pilar 1 nya tidak ada kendala pada tahun ini, penandatanganan Multilateral Convention Pilar 1 rencananya berlangsung pada Juli 2023.
“Jadi pajak yang berdasarkan penghasilan untuk transaksi digital baru akan diterapkan setelah kesepakatan Pilar 1 melalui penandatanganan Multilateral Convention (MLC) yang direncanakan di Juli 2023,” ungkap Mekar.
“Google, Neflix, Apple dan perusahaan MNC lainnya, tidak hanya perusahaan IT atau digital. Tapi yang memiliki peredaran usaha global lebih dari 20 miliar euro dan profit lebih dari 10% yang akan masuk dalam kelompok perusahaan MNC yang dikenakan pajak berdasarkan Pilar 1,” kata Mekar.
Sebagai informasi, Pilar 1 ini merupakan solusi untuk mengatasi tantangan perpajakan dari digitalisasi ekonomi, serta dalam rangka mengalokasikan hak pemajakan kepada negara sumber tanpa mendasarkan kehadiran fisik perusahaannya.
Dalam pilar itu, pengaturan terbagi menjadi dua aspek. Pertama, disebut dalam kategori Amount A yang cakupannya dari perusahaan multinasional (PMN) beromset global di atas 20 miliar euro dan profitabilitas di atas 10%, tidak termasuk ekstraktif & jasa keuangan.
Lalu, nexusnya adalah pendapatan lebih besar dari 1 juta euro dari yurisdiksi pasar, kuantumnya sebesar 25% dari nilai residual profit (excess profit dari threshold profitabilitas 10%), dan unilateral measures menghapus ketentuan yang mengatur pajak elektronik/digital tax services atau pajak sejenis.
Adapun Amount B adalah menggunakan mekanisme prinsip kewajaran dan kelaziman usaha atau arm’s length principle (ALP) sederhana untuk aktivitas marketing dan distribusi pasar yang terdiri dari simplified benchmarking dan simplified ALP.
Manfaat dari penerapan Pilar 1 ini adalah Indonesia mendapatkan alokasi hak pemajakan atas penghasilan global yang diterima PMN digital terbesar tanpa keharusan adanya kehadiran fisik di Indonesia.
Lalu, mendapat perluasan basis pajak pemajakan digital, dan mengurangi sengketa perpajakan internasional dengan dihapusnya unilateral measures atas pemajakan digital.
Dampaknya, penerimaan pajak yang berasal dari Amount A akan bergantung pada jumlah PMN yang memiliki nexus di Indonesia, dan nilai revenue yang diperoleh PMN dari Indonesia, serta tingkat profitabilitasnya.
Sumber: https://www.cnbcindonesia.com/news/20230217093148-4-414636/ri-siap-tarik-pajak-penghasilan-google-netflix-apple-dkk