Intercounbix Indonesia

Shaping a sustainable future

Transfer Pricing | Accounting | Tax | Business Advisory

Indikasi Transfer Pricing Domestik

Pertanyaan :

Saya Ari, mohon ijin bertanya…

Jika dikatakan transfer pricing adalah lebih ke transfer profit ke negara yang lebih kecil tarif pajaknya, bagaimana jika transaksi dilakukan ke perusahaan afiliasi di Indonesia dimana tarif pajaknya sama, apakah masuk kategori transfer pricing juga dari sudut pandang Pemeriksa?

Demikian pertanyaan kami, sebelumnya kami ucapkan terima kasih.

Pertanyaan disampaikan dalam acara Webinar Mini Course on Transfer Pricing 13-15 September 2022

Jawaban :

Oleh: Maskudin

Terima kasih Bapak Ari atas pertanyaannya. Bagus sekali.

Transfer Pricing adalah penentuan harga dalam transaksi hubungan istimewa. Salah satu tujuan transfer pricing adalah mengoptimalkan penghasilan global setelah dipotong pajak atau dengan kata lain mengoptimalkan jumlah pajak yang harus dibayar secara grup keseluruhan. Seperti diketahui bahwa tarif pajak yang diterapkan oleh masing-masing negara tidaklah sama. Indonesia misalnya menerapkan tarif pajak PPh Badan 22%, negara lain menerapkan tarif pajak yang lebih rendah dari Indonesia atau bahkan tidak ada pajak sama sekali (tarif 0%). Perbedaan tarif inilah yang memicu perusahaan multinasional mungkin akan melakukan profit shifting yaitu memindahkan penghasilan ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah atau memindahkan biaya ke negara yang tarif pajaknya lebih tinggi. Dalam dunia transfer pricing adanya aksi Base Erotion and Profit Shifting inilah yang mungkin akan merugikan suatu negara termasuk Indonesia yang seharusnya mendapatkan hak pajaknya.

Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan surat edaran No. SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan, salah satu yang diuraikan dalam surat edaran tersebut adalah tentang hal-hal yang menjadi pertimbangan Wajib Pajak diperiksa sehubungan dengan Transfer Pricing. Kriteria Wajib Pajak yang diperiksa sehubungan dengan transfer pricing adalah sebagai berikut :

  1. Wajib Pajak mempunyai transaksi dengan lawan transaksi yang menerapkan tarif pajak efektif lebih rendah.
  2. Terdapat indikasi terjadinya skema transaksi yang melibatkan entitas/pihak yang tidak memiliki substansi usaha dan/tidak menambahkan nilai ekonomis apapun (reinvoicing).
  3. Wajib Pajak mempunyai nilai transaksi afiliasi yang signifikan terhadap total peredaran usahanya.
  4. Terdapat transaksi intra-group seperti pemberian jasa, pembayaran royalty, cost contribution arrangement dan lain-lain.
  5. Terdapat transaksi restrukturisasi usaha seperti merger, akuisisi dan sebagainya.
  6. Performa keuangan berbeda dengan performa keuangan industry.
  7. Wajib Pajak mengalami kerugian selama 3 tahun pajak dalam jangka waktu 5 tahun.

Mengacu pada SE-15 dan prinsip transfer pricing pada umumnya fokus transfer pricing adalah karena perbedaan tarif. Namun demikian bagaimana jika transaksi afiliasi terjadi antar perusahaan dalam negeri dengan menerapkan tarif pajak yang sama?? Apakah ada isu transfer pricing?

Pemeriksa menurut pengalaman kami dalam memandang masalah tersebut tidak hanya fokus pada kesamaan tarif pajak, tetap sebelumnya pemeriksa akan melakukan pemetaan transaksi afiliasi group secara keseluruhan. Pemeriksa bisa saja mendapatkan bukti dan kesimpulan bahwa dari hasil pemetaan terdapat adanya indikasi profit shifting keluar negeri (karena ada anggota grup nya berada di jurisdiksi negara lain). Namun bagaimana jika pemeriksa tidak mendapatkannya?? Apakah pemeriksa tetap menyimpulkan adanya indikasi transfer pricing??

Pengujian harga transfer antar perusahaan dalam negeri diatur dalam PMK-22/PMK.03/2020 Pasal 24 ayat 1 yang berbunyi :

“Penentuan harga Wajar atas Transaksi yang Dipengaruhi Hubungan Istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 14 huruf b yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri dilaksanakan dengan menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.”

Berdasarkan pasal tersebut meskipun tidak ada perbedaan tarif PPh Badan atas transaksi afiliasi antar perusahaan dalam negeri tetap dimasukkan sebagai indikasi adanya transfer pricing. Namun demikian menurut pendapat kami perlu kehati-hatian dalam menerapkan pasal tersebut. Beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya adalah :

  1. Jika Wajib Pajak yang diperiksa dikoreksi positif apakah lawan transaksinya harus dikoreksi negatif?
  2. Bagaimana jika lawan transaksi sudah diperiksa dan dikeluarkan SKP apakah Wajib Pajak yang diperiksa tetap dikoreksi positif ?? (jika ada).
  3. Belum adanya pengaturan tentang corresponding adjustment, MAP jika terjadi dispute sebagaimana transaksi afiliasi Wajib Pajak dengan lawan transaksinya di luar negeri.
  4. Penerapan Secondary Adjustment dan dampaknya terhadap lawan transaksi.
  5. Bagaimana jika transaksi afiliasi terjadi pada Wajib Pajak yang berada dalam satu Kantor Pelayanan Pajak yang sama.

Hal-hal diatas menurut kami perlu diatur lebih lanjut untuk pengujian kewajaran dan kelaziman usaha transaksi afiliasi antar Wajib Pajak dalam negeri.

Demikian pendapat kami semoga mencerahkan dan bermanfaat.

***Disclaimer***

Recent Posts

SDGs Harus Dimiliki Seluruh Perusahaan Di Indonesia !!! Mengapa Demikian ?

SDGs (Sustainable Development Goals) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan rangkaian dari 17 tujuan global yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2015. Tujuan-tujuan ini dirancang untuk mengatasi tantangan-tantangan besar yang dihadapi dunia, termasuk kemiskinan, ketidaksetaraan, perubahan iklim, degradasi lingkungan, serta untuk mempromosikan perdamaian dan keadilan. Pentingnya Penerapan SDGs oleh

Read More »

Seri Pemeriksaan Pajak #2 – Pahami Aturan Pemeriksaan Pajak

IBX-Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai pihak otoritas dalam mengelola penerimaan negara dari perpajakan semua pelaksanannya harus berdasarkan peraturan. Peraturan tersebut akan mengikat kedua belah pihak yaitu DJP dan Wajib Pajak. Oleh karena itu kedua belah pihak harus paham dan melaksanakan peraturan-peratutan tersebut, jika tidak ???

Read More »

Rekor Cadev RI Capai US$150,2 M, Dipicu Oleh Pajak, Migas, dan Utang

IBX-Jakarta. Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa cadangan devisa pada akhir Agustus 2024 mencapai US$ 150,2 miliar, mencatat rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia. Erwin Haryono, Kepala Departemen Komunikasi BI, menjelaskan bahwa pencapaian ini didorong terutama oleh penerimaan dari pajak dan jasa, devisa dari sektor migas, serta penarikan pinjaman luar negeri oleh

Read More »