Oleh: Bella
Akuntansi sebagai sebuah konsep, bukan hanya sebagai sistem seni mencatat (bookkeeping system), mengelompokkan sampai aktivitas melaporkan (reporting system), tetapi jauh dari hal tersebut akuntansi tidak dapat lepas dari identitas kesejarahannya sebagai basis ideologi. Oleh karena itu, akuntansi tidak hanya dikembangkan untuk merespons informasi yang dibutuhkan masyarakat, tetapi juga hanyut dalam jiwa kapitalisme (Muhammad, 2002:97). Marx menegaskan pola ini, dengan mengatakan bahwa akuntansi (konvensional) merupakan bagian dari sistem yang kompleks (ideologi kapitalisme), yang dijadikan sebagai instrument dalam membentuk kesadaran palsu dan memistiskan informasi, untuk melegitimasi keadaan, struktur sosial ekonomi-politik kapitalis (Harahap, 2005:135).
- Akuntansi Islam: Sebuah Tinjauan Ideologis Terhadap Akuntansi
Akuntansi Islam hadir sebagai bentuk upaya menata kembali ilmu sesuai dengan refleksi nilai dalam masyarakat, sehingga akuntansi Islam berperan dalam mendekonstruksi akuntansi konvensional yang cenderung kapitalistik, dengan mengembalikan tradisi pemikiran pada realitas nilai dalam masyarakat. Agama dalam posisi ini dalam konteks fenomena berperan seperti budaya. Menciptakan perilaku sosial yang menjadi nilai hingga membentuk kebiasaan masyarakat dalam pranata sosial. Oleh karena itu, agama dapat dianggap sebagai (turats) budaya (nilai) yang dijunjung tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian, akuntansi yang lahir dari rahim agama merepresentasikan nilai dan budaya masyarakat itu sendiri sebagai masyarakat islam.
- Akuntansi Islam dalam Tinjauan Sejarah
Dalam islam, akuntansi dikenal dengan nama ilmu hisab (ilmu hitung) atau dikenal juga dengan istilah Muhasabah, sedangkan profesi akuntan dikenal dengan sebutan Al-Muhtasib. Kata hasaba bermakna mengitung dan menimbang semua amalan manusia dan tingkah lakunya sesuai dengan apa yang tercatat dan terdaftar. Hayashi (1995) mengemukakan bahwa peran akuntan (mutasahib) di masyarakat Islam tidak hanya sekedar melakukan praktik pencatatan, melainkan bagaimana ia dapat memastikan berjalannya prosedur institusi yang jujur, adil sesuai syariah, di samping memastikan ada tidaknya penimbunan dan penyimpangan yang terjadi (Harahap, 2004:8). Dengan demikian, terdapata keselarasan tujuan antara Islam dan akuntansi, yakni berperan dalam menjaga kebenaran dan keadilan, kepastian dan keterbukaan serta kejujuran (Harahap, 2004:117-122).
- Nilai-nilai Akuntansi Islaam dalam Al-Qur’an
Berikut adalah kandungan nilai dalam Al-Qur’an yang menjadi asumsi filosofis akuntansi islam:
- Keadilan. Menurut Karim (2006:273) keadilan adalah konsepsi yang mengatur pola pemetaan distribusi hak dan kewajiban, yang pengimplementasiannya menurut Abu Ubaid akan membawa kesejahteraan sosial dan keselarasan sosial. Kesejahteraan suatu tatanan masyarakat tidak lepas dari peran apakah sistem yang terbentuk berdasarkan keadilan atau tidak, sebab keadilan dapat dianggap sebagai tiang dari kesejahteraan. Akuntansi memegang peranan penting dalam menegakkan keadilan, apakah dalam struktur akuntansi, metode penilaian, pengakuan maupun pencatatan mencerminkan keadilan atau sebaliknya.
- Kebenaran. Prinisip kebenaran tidak lepas perannya terhadap penegakan nilai yang lain, kebenaran bagi manusia identik dengan kejujuran dan komitmen moral dalam bertindak dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
- Humanis. Akuntansi yang humanis berarti akuntansi yang dibentuk merujuk pada penempatan manusia yang eksistensinya diyakini sebagai makhluk yang mempunyai fitrah yang suci. Dengan adanya akuntansi Islam diharapkan dapat menstimulasi perilaku manusia menjadi lebih humanis yang memiliki kecenderungan pada kebaikan. Keadaan ini akan memperkuat kesadaran diri tentang hakikat manusia itu sendiri yang menciptakan nilai emansipatoris pada akuntansi Islam dimana proses humanisasi tersebut merupakan bagian dari hak manusia untuk mendapatakan keadilan.
- Emansipatoris. Prinsip emansipatoris merupakan prinsip kesetaraan dan kesederajatan. Islam menegaskan ajarannya sebagai ajaran yang menjunjung tinggi kesetaraan, sebagai bentuk perlawanan islam terhadap segala bentuk penindasan baik sosial maupun ekonomi.
- Teologikal. Teologikal merupakan konsep etiks yang dihasilkan dari doktrin eskatologis manusia sebagai makhluk teomorfis yang memiliki kerinduan untuk kembali kepada yang menciptakannya dalam keadaan tenang dan suci. Menurut Triyuwono (2001:28) nilai akuntansi tidak semata-mata instrument bisnis yang profan, tetapi sebagai instrument yang melintasi batas dunia profan. Bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan merupakan doktrin utama ajaran Islam, dengan itu menyadarkan manusia bahwa praktik bisnis merupakan bagian dari ibadah kepada Tuhan.
Nilai-nilai diatas tersebut yang menjadi differensia antara akuntansi Islam dan konvensional, dimana menjadi kekuatan dalam mencapai orientasi akuntansi islam yang selaras dengan tujuan ekonomi Islam yakni pemerataan kesejahteraan bagi seluruh umat, sebagai wujud masyarakat Islam sebagai masyarakat komunal emansipatoris.
- Teorisasi Akuntansi Islam
Secara umum, penyusunan teorisasi akuntansi terbagi atas empat pendekatan yaitu pendekatan positivistik, interpretatif, paradigma kritis dan postmodernisme (Chua, 1986) dalam Triyuwono (2006:213).
Paradigma positivistic membangun asumsi bahwasanya subjek dan objek adalah realitas yang terpisah satu sama lain (Mulawarman, 2011). Subjek memiliki superioritas dalam memahami objek yang bersifat pasif. Metode penyusunan teori dari paradigma ini lebih menekankan metode induktif, dengan pengalaman sebagai basis epistemologi yang bersifat partikulir menuju penggeneralisasian sehingga menjadi postulat umum.
Sedangkan paradigma postmodernisme menurut Rosenau (1992:15) dapat dibagi menjadi dua orientasi utama, yaitu postmodernisme skeptis dan afirmatif (Mulawarman, 2011). Postmodernisme cenderung menolak fakta kebenaran. Sedangkan dalam islam makna absolut dan relative pada dasarnya manunggal seperti halnya dengan makna presepsi dan fakta itu pada dasarnya tidak dapat dipisah apalagi dipertentangkan. Subjektif dan objektif memiliki sisi yang berada pada diri yang satu, sehingga akuntansi islam disamping memahami realitas kebenaran secara majemuk dalam konteksnya pengetahuan yang kontekstual, namun juga memahami kebenaran yang tunggal dalam konteksnya sebagai pengetahuan yang tekstual (wahyu). Keduanya harus bersimbiosis dan manunggal untuk kemudian disebut sebagai kebenaran.
Ideologi Akuntansi Islam/Alimuddin, Muhammad Ruslan
-Ed. 1.-Cet.1.-Depok: Rajawali Pers, 2016.