Oleh: Catherine Anggraini
Dalam dunia ekonomi maupun bisnis, istilah ex-ante dan ex-post sudah tidak asing lagi. Berasal dari bahasa Latin, ex-ante memiliki arti “sebelum terjadi”, atau secara singkat merupakan prediksi atas sesuatu yang belum nyata terjadi dan hasil yang belum pasti. Umumnya prediksi dilakukan oleh perusahaan untuk melihat potensi penghasilan yang akan diterima kembali oleh perusahaan atau bagi investor digunakan untuk melihat dividen yang diterima dari perusahaan atas investasi yang dilakukan. Namun, hasil prediksi sering tidak akurat karena pengaruh beberapa variabel. Sedangkan, ex-post dari bahasa Latin berarti “setelah terjadi”, atau melihat ke belakang dan menyimpulkan hasil yang pasti. Dengan menggunakan ex-post, perusahaan investasi dapat menggunakan data historis untuk memperkirakan kemungkinan kondisi penghasilan laba atau rugi atas investasi. Prediksi ex-ante dapat digunakan sebagai dasar perbandingan dengan hasil yang sebenarnya terjadi (ex-post) dan hasil prediksi atas hasil aktual tersebut.
Untuk tujuan perpajakan, istilah ex-ante dan ex-post digunakan untuk menganalisis transaksi afiliasi (transfer pricing) yang terjadi. Isu dalam kasus transfer pricing yang sering terjadi adalah cara menentukan dasar harga transfer, apakah harus prediksi melihat ke depan atau melihat ke belakang atas peristiwa yang telah terjadi. Secara teori, transfer pricing menggunakan basis ex-ante, namun dalam transfer pricing audit digunakan basis ex-post, sedangkan OECD Guidelines menggabungkan kedua basis tersebut.
- Pada basis ex-ante (the arm’s length price-setting approach), harga transfer ditetapkan sebelum atau saat kontrak atau transaksi afiliasi dilakukan. Pembanding yang digunakan dapat berdasar pada sumber informasi saat transaksi dilakukan, maupun tahun sebelumnya.
- Sedangkan pada basis ex-post (the arm’s length outcome-testing approach), harga transfer ditetapkan setelah kontrak atau transaksi afiliasi dilakukan, yang kemudian akan diuji kewajarannya. Pembanding yang digunakan berdasar pada informasi yang tersedia saat persiapan dan penyusunan Surat Pemberitahuan (SPT), maupun saat dan sebelum transaksi afiliasi dilakukan.
Indonesia menerapkan basis ex-ante (ex-ante approach) bagi Wajib Pajak dalam menyusun Dokumen Penentuan Harga Transfer (TP Doc), hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.03/2016 yang berbunyi sebagai berikut,
“(1) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukan Transaksi Afiliasi.
…
(3) Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2), Wajib Pajak dianggap tidak menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.”
Berbeda dengan Pasal 3 ayat (1) dan (3), Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 213/PMK.03/2016 menerapkan karakteristik yang sama dengan basis ex-post (ex-post approach). Khusus Dokumen Penentuan Harga Transfer (TP Doc) berupa Laporan Per Negara (Country-by-Country Report) disusun setelah seluruh data dan informasi selama satu tahun pajak yang diperlukan telah tersedia. Berikut isi ketentuan dalam Pasal 3 ayat (2),
“(2) Dokumen Penentuan Harga Transfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, wajib diselenggarakan berdasarkan data dan informasi yang tersedia sampai dengan akhir Tahun Pajak.”
Dalam proses pemeriksaan pajak yang berkaitan dengan isu transaksi transfer pricing, basis yang digunakan bukan ex-ante, melainkan basis ex-post (ex-post approach) sebagaimana berdasar pada Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-22/PJ/2013. Ditegaskan dalam peraturan bahwa pendekatan pengujian (the arm’s length outcome-testing approach) atas informasi dan data pembanding setelah transaksi afiliasi dilakukan, menjadi rujukan dalam analisis transaksi transfer pricing dalam proses pemeriksaan.
**disclaimer**