Oleh : M. Akmal Murtadho
Istilah moral hazard berasal dari ilmu ekonomi yang mempelajari ekonomi informasi. Istilah ini sebetulnya tidak ada hubungannya dengan tindakan yang bersifat tidak bermoral. Kreps (1990:577), seperti pernah dikemukakan sebelumnya, mendefinisikan moral hazard sebagai tindakan oleh salah satu pihak (agen) dalam suatu transaksi yang memengaruhi penilaian pihak lain (prinsipiel) terhadap transaksi tersebut, tetapi pihak kedua (prinsipiel) tidak dapat mengawasi/memaksa secarasempurna tindakan dimaksud. Motif utama dari tindakan itu adalah memaksimalkan manfaat bagi pihak yang bersangkutan.
Contoh klasik tentang hal ini adalah pemilik rumah yang tidak memperhatikan perlunya alat pemadam kebakaran di rumahnya karena rumah itu telah diasuransikan untuk kerugian karena kebakaran. Dalam hal ini, penerima manfaat, yaitu pemilik rumah, melakukan tindakan moral hazard. Contoh lain adalah scorang karyawan yang bekerja malas-malasan setelah diterima bekerja di perusahaan dengan gaji tetap yang tinggi. Pelaku moral hazard dalam contoh ini adalah karyawan yang bersangkutan. Pemilik rumah atau karyawan dalam contoh tersebut berani menanggung risiko karena biaya atas risiko tersebut ditanggung oleh pihak lain.
Solusi untuk mengatasi masalah moral hazard adalah dengan pengaturan kontrak sedemikian rupa sehingga terdapat sistem insentif dan monitoring agar masing-masing pihak dapat saling mengawasi dan memaksa secara sempurna pelaksanaan pertukaran kepentingan di antara mereka.
Dengan sistem insentif, pihak yang berkeinginan melakukan moral hazard, demi kepentingan terbaiknya, membatalkan niatnya dan bertindak sesuai dengan yang diharapkan oleh pihak kedua.
Ada insentif jika ia bertindak sesuai dengan keinginan pihak kedua. Misalnya, asuransi kebakaran dibuat terstruktur sedemikian rupa sehingga ada bagian kerugian yang harus ditanggung sendiri oleh penanggung asuransi. Contoh lain, struktur penggajian dan pengupahan dalam kontrak kerja dibuat sedemikian rupa sehingga ada yang berbentuk gaji tetap dan ada yang berbentuk upah variabel yang didasarkan atas suatu performa tertentu, misanya jumlah unit yang dihasilkan. Ely (1999: 242) menyebut sistem insentif dengan penetapan harga yang tepat (proper pricing).
Moral hazard pada akhirnya harus dipecahkan melalui kontrak yang jelas antara pihak-pihak yang terlibat termasuk solusi lain, yaitu penerapan sistem monitoring. Sistem ini dapat digunakan untuk mengawasi performa pihak yang bermaksud melakukan moral hazard. Misalnya, jika sistem insentif tidak diberlakukan, monitoring dalam kontrak kerja dapat dijalankan dengan menerapkan sistem absensi.
*Disclaimer*
Sumber: Soemarso S.R (2018). Etika dalam Bisnis & Profesi Akuntan dan Tata Kelola Perusahan.