IBX-Jakarta. Pemajakan atas industri ekonomi digital menjadi sebuah tantangan dan perhatian tersendiri baik dari sisi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Hal tersebut disebabkan karena perusahaan digital memperoleh laba yang signifikan dari pengguna dari pasar di daerah yurisdiksi tanpa adanya kehadiran fisik dari bisnis tersebut di wilayah yurisdiksi, sehingga ketiadaan kehadiran fisik berdampak pada negara sumber tidak memiliki hak pemajakan atas penghasilan yang diperoleh perusahaan digital. Untuk itu dalam Base Erosion Profit Shifting (BEPS) Action 1 OECD berkeinginan memberikan keadilan kepada negara yurisdiksi untuk menerima bagian pendapatan dari perusahaan multinasional yang berasal dari pelanggan atau pengguna di negara tersebut.
Terdapat beberapa isu dalam pemajakan atas perusahaan digital dari sisi PPN dan PPh. Dari sisi PPN secara prinsip dikenakan dalam negara yurisdiksi karena PPN merupakan pajak atas konsumsi sehingga dikenakan dimana barang/jasa digital tersebut dikonsumsi. Namun tidak seperti barang fisik yang melewati proses kontrol di perbatasan negara, barang digital tidak melalui kontrol perbatasan negara sehingga sulit untuk melakukan pengenaan pajak atas impor barang/jasa digital, terutama untuk transaksi Business to Customer (B2C).
Dalam impor barang/jasa digital atas transaksi Business to Business (B2B) pengenaan PPN dapat dilakukan dengan pemberlakuan reverse charge rules dimana pengguna barang/jasa digital impor yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) berkewajiban untuk melakukan pemungutan sendiri PPN atas transaksi impor barang/jasa digital. Sedangkan dalam transaksi B2C tidak dapat dilakukan dengan reverse charge rule mengingat terdapat pelanggan yang bukan merupakan PKP atau orang pribadi, sehingga diperlukan kebijakan yang mengharuskan penyedia barang/jasa luar negeri untuk mendaftar dan melakukan pemungutan PPN atas penyediaan barang/jasa digital.
Dari sisi PPh karena penyediaan barang/jasa digital termasuk dalam kategori active income maka secara konsep negara yurisdiksi sebagai negara sumber memiliki hak pemajakan apabila terdapat kehadiran fisik seperti Bentuk Usaha Tetap (BUT) atau anak perusahaan dalam wilayah yurisdiksi. Keberadaan konsumen atau pengguna dalam wilayah yurisdiksi tidak termasuk dalam kategori kehadiran fisik yang dapat dijadikan dasar pengenaan pajak oleh negara yurisdiksi. Berdasarkan hal tersebut diperlukan perancangan ulang rezim perpajakan guna menyesuaikan nature dari ekonomi digital yang tentunya akan mengubah hak pemajakan antara negara sumber dan negara residen.
Pajak atas barang/jasa digital dikenakan atas pendapatan yang diterima perusahaan asing atas penyerahan barang/jasa digital kepada pengguna dalam wilayah yurisdiksi dengan tarif rendah 2%-3%. Pemungutan pajak dilakukan secara pemotongan oleh pihak ketiga atas transaksi B2B dan pelaporan mandiri oleh perusahaan atas transaksi B2C, lebih lanjut beberapa negara mengenakan pajak atas barang/jasa digital dengan penerapan BUT virtual berdasarkan lokasi pengguna atau pelanggan dengan persyaratan minimal penjualan.
Mengacu pada OECD pengenaan pajak atas barang/jasa digital didasarkan pada tiga kondisi yaitu dikenakan berdasarkan kriteria pasar yang mengacu pada lokasi pengguna, dikenakan kepada perusahaan asing dan tidak termasuk bagian pengaturan pajak penghasilan dalam tax treaties agar tidak termasuk dalam kategori business income yang memerlukan penetapan BUT untuk pengenaan pajaknya.
Seiring berjalannya waktu OECD melakukan penyederhanaan upaya pencegahan BEPS dengan mengusung BEPS pillar one dan pillar two. Pillar one merupakan penyederhanaan dari beberapa aksi BEPS salah satunya adalah BEPS Action 1. Dalam pillar one terdapat dua aspek utama yaitu amount A dan amount B. Amount A adalah kebijakan yang memberikan sumber pemajakan baru berdasarkan lokasi dari pengguna atau pelanggan yang mendefinisikan ulang hak pemajakan atas perusahaan multinasional di dunia, sedangkan amount B adalah sebuah standarisasi remunerasi untuk distributor pihak berelasi yang melakukan aktivitas dasar marketing dan distribusi sesuai dengan arm’s length principle.
Penerapan amount A dilakukan melalui perjanjian multilateral yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas perpajakan internasional. Tujuan tersebut dicapai dengan melakukan koordinasi realokasi hak pemajakan atas bagian pendapatan perusahaan multinasional kepada setiap wilayah yurisdiksi tanpa memperhatikan kehadiran fisik. Dengan kebijakan tersebut dapat memberikan kepastian kepada perusahaan sehingga mengurangi sengketa dan mencegah pengenaan pajak atas barang/jasa digital kepada seluruh perusahaan. Penerapan amount A dalam sistem perpajakan negara OECD mengharuskan negara-negara untuk menghapus pajak atas barang/jasa digital yang telah ada sebelumnya dan menggantinya dengan penerapan amount A.
Disisi lain, amount B merupakan upaya simplifikasi ketentuan administrasi TP atas kegiatan rutin marketing dan distribusi. Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa terdapat beberapa negara berkembang yang kekurangan akses sumber daya dan basis data untuk melakukan perbandingan atas aktivitas tersebut. Amount B dilakukan dengan menetapkan basis definisi dari aktivitas marketing dan distribusi serta mengembangkan methodology proses pelaporan berkas administrasi yang diperlukan, untuk beberapa area yang dianggap low-risk dapat dilakukan dengan penerapan safe harbours untuk simplifikasi proses.
*DISCLAIMER*