Salah satu syarat dari suatu bidang pekerjaan untuk dapat dinyatakan sebagai profesi adalah adanya standar perilaku atau kode etik yang mengatur hubungan antara praktisi, klien, teman sejawat, dan Masyarakat. Hubungan antara praktisi dan Masyarakat dapat dikategorikan sebagai hubungan fidusia. Dalam hal ini, Masyarakat lebih ditekankan pada pemegang saham dan stakeholder lain.
Hubungan fidusia muncul karena kepercayaan. Kode etik dibuat untuk menjaga kepercayaan publik tersebut terhadap profesi yang bersangkutan. Anggota profesi harus mematuhi kode etik. Terbitnya kode etik juga dipicu oleh persyaratan bahwa profesi yang bersangkutan harus mengakui adanya tanggung jawab sosial yang melekat dalam bidang pekerjaan mereka yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Kode etik merupakan rumusan tertulis, dalam bentuk hukum positif, tentang norma, prinsip moral, dan etika yang harus dicerminkan dalam berperilaku di masyarakat atau kelompok sosial tertentu sesuai dengan bidangnya. Kode etik merupakan standar berperilaku yang harus direfleksikan dalam perbuatan. Penilaian masyarakat terhadap dipathi atau tidaknya suatu kode etik dibuktikan dengan perbuatan yang dilakukan, bukan pada perilaku yang ditampakkan atau bahkan rumusan yang dihasilkan.
Etika dalam artian norma atau prinsip moral (etika murni) merupakan acuan untuk menilai apakah perbuatan yang dilakukan merupakan sesuatu yang baik atau buruk. Kode etik sebagai rumusan positif dari etika sering tidak dapat mencakup seluruh norma dan prinsip moral tersebut.
Oleh karena itu, penilaian terhadap kode etik sering hanya berlaku untuk benar atau salah. Kriteria yang digunakan untuk penilaian hanya berupa rumusan positif yang telah disepakati. Tentu saja rumusan dalam kode etik sudah harus memenuhi kriteria baik.
Sebagai acuan perilaku dan perbuatan, kode etik mungkin tidak cukup untuk merespons semua fenomena yang dihadapi. Salah satu penyebabnya adalah tidak tersedianya rumusan yang jelas secara tertulis. Oleh karena itu, praktisi dalam profesi yang bersangkutan harus mencarinya dalam norma, prinsip moral, dan etika yang berlaku di masyarakat. Masalahnya dikembalikan pada kriteria baik-buruk menurut hati nurani. Kriteria baik-buruk dapat dicari melalui pandangan para ahli filsafat tentang etika.
Pandangan para ahli filsafat dapat dikategorikan dalam paham-paham, di antaranya utilitarianisme, deontologisme, dan virtuisme. Jika terjadi kebuntuan dalam mencari acuan untuk merespons suatu fenomena, penelusuran dapat dilakukan ke paham-paham tentang hakikat kebaikan. Agama juga merupakan salah satu sumber rujukan.
Perumusan kode etik, tentu saja, harus bersumber pada paham-paham kebaikan bagi masyarakat. Namun, dalam prosesnya, tidak tertutup kemungkinan adanya benturan kepentingan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam penyusunan. Atau, tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari luar. Oleh karena itu, independensi pihak yang menyusun dan kesaksamaan dalam proses (due process) dalam penyusunan kode etik akan sangat menentukan dipercaya-tidaknya kode etik (atau standar-standar lain) yang dirumuskan.
Karena keterikatan profesi akuntan dengan pasar modal (dan pasar keuangan), kepercayaan tersebut akan berimbas pada kepercayaan terhadap pasar. Tika kepercayaan kepada pasar modal menurun yang berakibat pada gagalnya pasar (market failure), pemerintah akan turun tangan.
Sarbanes and Oxley Act adalah salah satu contohnya.
*Disclaimer*
Sumber: Soemarso S.R (2018). Etika dalam Bisnis & Profesi Akuntan dan Tata Kelola Perusahaan