Intercounbix Indonesia

Shaping a sustainable future

Transfer Pricing | Accounting | Tax | Business Advisory

Serba Serbi DER

Oleh : Maskudin

Dalam Era Globalisasi setiap perusahaan harus bisa bertahan hidup dengan cara menerapkan manajemen dengan tingkat efisien dan efektifitas yang tinggi, untuk menghasilkan laba perusahaan. Untuk menjalankan operasionalnya perusahaan akan membutuhkan dana atau pembiayaan.

Terdapat pilihan bagi perusahaan untuk pembiayaan bisa berupa modal, pinjaman atau keduanya. Banyak pertimbangan bagi perusahaan apakah memilih modal atau pinjaman.  Efek pembiayaan modal akan muncul deviden sedangkan pinjaman akan muncul bunga. Oleh karena itu salah satu pertimbangan pembiayaan adalah factor pajak.

Dalam perpajakan terdapat perbedaan perlakuan antara deviden dan bunga. Deviden Non-deductible sedangkan bunga deductible. Kemudian deviden dikenakan pajak 2 kali yaitu di tingkat perusahaan dan pemegang sahamnya sedangkan bunga hanya dikenakan sekali saja.

Oleh karena itu pembiayaan utang lebih dipilih oleh perusahaan disbanding pembiayaan modal. Namun bagi otoritas pajak hal itu bisa menjadi masalah karena hal itu bisa sebagai media penghindaran pajak yang sering disebut dengan Thin Capitalization.

Thin Capitalization menurut OECD dimana suatu perusahaan memiliki jumlah utang yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah modal.

Dikarenakan pinjaman yang tinggi akan berakibat tingginya biaya bunga pinjaman. Karena bunga pinjaman diakui sebagai deductible expense akan berakibat menggerus penerimaan pajak suatu negara termasuk Indonesia.

Nah…disinilah muncul kebijakan suatu negara termasuk Indonesia untuk menerapkan DER (Debt Equity Ratio). Kenapa harus DER ??? karena ini salah satu cara sederhana untuk mencegah terjadinya penggerusan pajak.

Sejarah DER di Indonesia

Sesuai Pasal 18 ayat 1 UU PPh :”Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai bersarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan penghitungan pajak berdasarkan Undang-undang ini.”

Terkait dengan DER sudah sejak tahun 1984 sudah diatur dengan terbitnya :

  1. Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan antara Utang dan Modal Sendiri Untuk keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Besarnya DER ditetapkan setinggi-tingginya 3 : 1.

Lima bulan kemudian terbit aturan :

  1. KMK NO. 254/KMK.01/1985 tentang penangguhan pelaksanaan KMK No. 1002/KMK.04/1984 dengan alasan bahwa dengan penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal sendiri untuk keperluan pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat dan berlaku umum dikuatirkan akan menghambat perkembangan dunia usaha. Penangguhan yang dimaksud sampai saat yang ditentukan kemudian oleh Menteri Keuangan.
  2. PMK-169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan. Besarnya perbandingan antara utang dan modal ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1) yang berlaku sejak tahun pajak 2016.

Poin-poin PMK-169/PMK.010/2015 :

  1. Ketentuan ini berlaku Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.
  2. Dikecualikan dari ketentuan perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud sebelumnya adalah:
    1. Wajib Pajak bank
    2. Wajib Pajak lembaga pembiayaan
    3. Wajib Pajak asuransi dan reasuransi
    4. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian dimaksud mengatur atau mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan modal; dan
    5. Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri; dan
    6. Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

***Disclaimer***

Recent Posts

Ekonom Sarankan Pertimbangan Variabel Ekonomi Sebelum Kenaikan Cukai Hasil Tembakau

IBX-Jakarta. Ekonom mengajukan beberapa variabel yang perlu dipertimbangkan pemerintah sebelum memutuskan kenaikan tarif cukai di masa depan. Candra Fajri Ananda, seorang guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2025 dapat memberikan peluang lebih besar bagi industri tembakau

Read More »