IBX-Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa PMK Nomor 131/2024, yang mengatur teknis perhitungan tarif PPN 12% untuk barang mewah dan non-mewah, kurang ideal. Namun, ia menegaskan bahwa pemerintah harus mematuhi amanat undang-undang.
Aturan tersebut menetapkan bahwa tarif PPN 12% berlaku untuk semua barang dan jasa dengan dasar pengenaan pajak (DPP) yang dibedakan. Untuk barang mewah, tarif 12% dikalikan dengan DPP berupa harga jual atau nilai impor sebesar 12/12. Sedangkan untuk barang atau jasa non-mewah, tarif 12% dikalikan dengan DPP berupa nilai lain sebesar 11/12.
Sri Mulyani mengakui bahwa aturan ini mendapat kritik karena dianggap membingungkan dan menambah beban administrasi. Namun, menurutnya, kebijakan ini bertujuan agar tidak melanggar ketentuan undang-undang.
Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa pembedaan DPP dalam PMK 131/2024 menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Ia mengingatkan bahwa Presiden Prabowo telah mengarahkan kenaikan tarif PPN 12% hanya berlaku untuk barang mewah, sementara barang dan jasa lainnya tetap dikenai tarif 11%. Oleh karena itu, Misbakhun berpendapat bahwa kebijakan ini seharusnya menggunakan mekanisme multitarif, bukan melalui perhitungan yang kompleks.
Ia juga mengkritik proses penerbitan aturan yang dinilai terlalu mendekati waktu pelaksanaan. PMK 131/2024 baru diundangkan pada 31 Desember 2024, sementara kenaikan tarif PPN berlaku mulai 1 Januari 2025. Misbakhun menilai Direktorat Jenderal Pajak seharusnya menyusun aturan dengan bahasa yang lebih sederhana dan mudah dipahami agar tidak menimbulkan multitafsir.
Menurutnya, Direktorat Jenderal Pajak tidak seharusnya membuat ketentuan yang berbeda dari arahan Presiden, karena hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat. Ia bahkan mendorong Direktur Jenderal Pajak untuk mengundurkan diri karena kebijakan teknis yang dibuat dianggap tidak sesuai dengan arahan Presiden.
Sumber : Sri Mulyani Akui Aturan Teknis PPN 12% Tak Ideal, tapi Sesuai UU (EKONOMI)