IBX-Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta wajib pajak untuk tidak risau apabila menerima surat cinta pajak alias Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK). SP2DK alias Surat Cinta Pajak sendiri merupakan surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) untuk meminta penjelasan atas data dan/atau keterangan kepada wajib pajak terhadap dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan.
Lalu, apa yang harus dilakukan jika wajib pajak memperoleh Surat Cinta Pajak? Nah, dalam rangka melakukan pengawasan, maka kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berwenang melaksanakan kegiatan P2DK dengan penerbitkan SP2DK.
SP2DK ini disampaikan kepada wajib pajak dengan cara melalui faksimili, jasa ekspedisi dengan bukti pengiriman surat, dan/atau diserahkan langsung kepada wajib pajak melalui kunjungan atau pada saat wajib pajak datang ke KPP, paling lama tiga hari sejak tanggal penerbitan SP2DK.
Melalui SP2DK, DJP meminta penjelasan kepada wajib pajak atas data dan/atau keterangan berdasarkan penelitian kepatuhan material yang menunjukkan indikasi ketidakpatuhan dan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kegiatan tersebut menjadi jembatan agar wajib pajak lebih mudah dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
“Wajib pajak seharusnya tidak perlu panik ketika menerima SP2DK, sebab surat ini bukan surat perintah pemeriksaan pajak,” tulis Kemenkeu dalam Laporan APBN Kita, Minggu (29/10).
Untuk iyu, masih terbuka ruang bagi wajib pajak untuk menyampaikan penjelasan menurut versinya. Wajib pajak sebaiknya perlu mencermati poin-poin yang memerlukan penjelasan dalam SP2DK dan menyiapkan bukti-bukti yang dimiliki terkait poin-poin tersebut.
“Selama telah memenuhi kewajiban pajaknya, wajib pajak tidak perlu risau,” katanya.
Namun, seandainya setelah dikonfirmasi terdapat indikasi ketidakpatuhan, maka wajib pajak dapat melakukan pembetulan pelaporan dan/atau dapat membayar kekurangan jumlah pajak yang terutang. Seperti yang diketahui, Indonesia menganut sistem self assessment secara penuh sejak awal tahun 1984, khususnya terkait pajak penghasilan (PPh).
Nah, melalui sistem self assessment ini maka mengharuskan wajib pajak secara aktif menghitung pajak yang terutang sehingga seharusnya wajib pajak memahami peraturan perpajakan agar dapat menghitung jumlah pajak yang benar berdasarkan kondisi keuangannya.
Selain itu, wajib pajak juga harus dapat menilai risiko dan mengidentifikasi potensi masalah perpajakan dalam laporan pajaknya, termasuk apabila ada potensi sanksi akibat ketidakpatuhan.
Sumber: Kontan.co.id
*Disclaimer*