Intercounbix

Shaping a sustainable future

Transfer Pricing | Accounting | Tax | Business Advisory

Ekstensifikasi Pajak Harus Tepat Sasaran, Bukan Bebani Masyarakat Berpenghasilan Rendah

IBX-Jakarta. Upaya pemerintah untuk memperluas bais pajak atau melakukan ekstensifikasi terus digencarkan demi meningkatkan penerimaan negara. Namun, sejumlah pakar mengingatkan bahwa strategi tersebut harus dijalankan dengan hati-hati agar tidak justru membebani masyarakat kelas menengah ke bawah, yang secara ekonomi masih rentan.

Fajry Akbar, Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), menilai bahwa rendahnya rasio pajak di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh struktur ekonomi nasional. Dibandingkan dengan negara-negara selevel di kawasan Asia Tenggara, jumlah penduduk berpendapatan rendah di Indonesia masih sangat besar. Hal ini, menurutnya, menjadi tantangan utama dalam meningkatkan basis pajak secara singnifikan.

Merujuk pada data Bank Dunia, Fajry menyebutkan bahwa sebanyak 60,3% masyarakat Indonesia masih tergolong miskin. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Filipina (50,6%), Vietnam (18,2%), Thailand (7,1%), dan Malaysia (1,3%). Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025 mencatat rata-rata upah buruh di Indonesia hanya sebesar Rp3,09 juta per bulan—jauh di bawah batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp4,5 juta.

“Kalau ekstensifikasi dilakukan dengan cara menurunkan ambang batas PTKP, hasilnya tidak akan signifkan dari sisi penerimaan. Justru akan menambah beban administrasi dan pengawasan bagi otoritas pajak,” ujar Fajry dalam wawancara pada Rabu, 14 Mei 2025.

Ia menambahkan bahwa saat ini saja rasio antara jumlah wajib pajak dan petugas pajak (account representative) sudah tidak seimbang. Karena itu, strategi ekstensifikas harus diarahkan kepada individu atau kelompok yang benar-benar memiliki potensi kontribusi pajak yang besar, bukan sekedar memperluas jumlah pelapor tanpa menambah pendapatan negara.

Fajry juga menyoroti pentingnya edukasi pajak sejak dini, terutama dalam hal pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Menurutnya, rendahnya kepatuhan masyarakat dalam membayar dan melaporkan pajak tidak lepas dari minimnya pemahaman dan rendahnya persepsi manfaat. Ia mencontohkan kebijakan di Amerika Serikat yang memberikan insentif pajak berupa Earned Income Tax Credit (EITC), di mana warga yang melaporkan pajak justru mendapatkan semacam bantuan langsung tunai dari pemerintah.

“Di Indonesia, konsep seperti EITC masih jauh, tetapi kuncinya adalah edukasi. Masyarakat harus memahami bahwa ada kewajiban melapor pajak jika sudah memenuhi syarat objektif dan subjektif,” jelasnya.

Tak kalah penting, Fajry menekankan pentingnya sinkronisasi data antarinstansi pemerintah. Selama ini, perbedaan data antara lembaga sering kali menghambat ekstensifikasi yang akurat dan tepat sasaran. Padahal, validitas data sangat krusial dalam menentukan strategi perluasan basis pajak.

Senada dengan Fajry, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia, Prianto Budi Saptono, juga menolak wacana penurunan batas PTKP. Ia menyarankan agar pemerintah lebih fokus menyasar pelaku usaha, termasuk sektor informal, daripada buruh atau pekerja berpenghasilan rendah.

Menurut Prianto, upaya ekstensifikasi bisa dilakukan secara aktif melalui kegiatan canvassing—yakni dengan menyisir pelaku usaha di pertokoan dan pusat perbelanjaan. Ia juga mendorong kerja sama antara Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) melalui program pemantauan bersama atau joint monitoring untuk meningkatkan cakupan dan efektivitas pengawasan pajak.

Dengan pendekatan yang lebih strategis dan kolaboratif, perluasan basis pajak dapat berjalan optimal tanpa membebani kelompok masyarakat yang justru membutuhkan perlindungan negara.

Sumber: OECD Minta Batas PTKP Diturunkan, Pakar Dorong Ditjen Pajak Incar Orang Kaya

Recent Posts

Badan Otorita Penerimaan Negara Akan Dibentuk, Ini Struktur dan Tugasnya

IBX-Jakarta. Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan tengah menyiapkan struktur organisasi Badan Penerimaan Negara (BPN) atau Badan Otorita Penerimaan Negara (BOPN), sebuah lembaga baru yang dirancang untuk memperkuat sistem penerimaan negara secara terintegrasi. Informasi ini disampaikan oleh Edi Slamet Irianto, anggota Dewan Pakar TKN Bidang Perpajakan, dalam acara ISNU Forum on

Read More »

Mengenal Mutual Agreement Procedure dalam Mengatasi Sengketa Transfer Pricing

IBX-Jakarta. Dalam konteks perpajakan internasional, sengketa transfer pricing menjadi isu yang kian kompleks dan sering terjadi, terutama ketika dua negara memiliki pandangan berbeda terkait penentuan harga wajar atas transaksi afiliasi lintas batas. Untuk menyelesaikan sengketa semacam ini tanpa harus menempuh jalur litigasi, tersedia suatu mekanisme yang diakui secara internasional, yaitu

Read More »

Mengenal Analisis Fungsi, Aset, dan Risiko dalam Transfer Pricing

IBX-Jakarta. Dalam praktik perpajakan, khususnya dalam transaksi antar perusahaan afiliasi, penting bagi Wajib Pajak untuk memastikan bahwa transaksi yang dilakukan telah sesuai dengan prinsip kewajaran. Salah satu cara menilai kewajaran ini adalah melalui analisis fungsi, aset, dan risiko atau yang dikenal dengan istilah FAR (Function, Asset, and Risk analysis). Prinsip

Read More »