IBX-Jakarta. Pasar keuangan Indonesia kembali dibayangi awan kelabu. Di tengah memanasnya konflik geopolitik global, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah langsung tergelincir tajam pada awal perdagangan Senin pagi ini (23/6).
IHSG mencatatkan penurunan signifikan sebesar 1,62% ke level 6.795,53 pada pukul 09.25 WIB. Jika tren koreksi berlanjut hingga penutupan hari ini, maka IHSG akan mencatat empat hari berturut-turut berada di zona merah. Dalam sebulan terakhir, indeks telah tertekan hingga 4,16%, menghapus seluruh penguatan solid yang dibukukan pada Mei lalu yang sempat mencetak kenaikan lebih dari 6%.
Pelemahan juga terjadi pada nilai tukar rupiah. Hingga pukul 09.30 WIB, rupiah melemah 0,65% ke posisi Rp16.465 per dolar AS. Pelemahan ini memperpanjang tren negatif yang sudah berlangsung sejak pertengahan Juni, dengan akumulasi penurunan sekitar 0,9% atau 150 poin.
Sentimen utama yang menekan pasar datang dari langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang memerintahkan serangan udara ke tiga fasilitas nuklir Iran yaitu Fordow, Natanz, dan Esfahan. Serangan yang paling signifikan terjadi di Fordow. Meskipun Trump menyatakan bahwa tujuannya adalah mendorong perdamaian, aksi tersebut justru menempatkan AS dalam konflik bersenjata terbuka dengan Iran.
Maximilianus Nico Demus, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, menjelaskan bahwa keterlibatan militer AS memperbesar ketidakpastian global dan mendorong lonjakan harga energi. “Ketegangan di Timur Tengah kian tajam. Ini berpotensi mendorong harga komoditas energi semakin tinggi,” ungkapnya.
Nico juga menyoroti risiko dari sikap Iran yang belum tentu bersifat defensif. “Meskipun ada narasi perdamaian dari Trump, pelaku pasar menanti respons balasan dari Iran. Ketegangan ini akan sangat memengaruhi arah pasar, khususnya menjelang sesi perdagangan malam,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa keberpihakan terhadap salah satu kubu dalam konflik dapat memperburuk kondisi geopolitik global. “Bukan tidak mungkin terbentuk blok baru antarnegara. Dalam situasi di mana AS juga tengah menerapkan kebijakan tarif yang protektif, diplomasi internasional terhadap Washington menjadi lebih rumit,” ujarnya.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menambahkan bahwa meningkatnya ketidakpastian global mendorong investor global untuk beralih ke dolar AS sebagai aset aman (safe haven). Hal ini turut menekan rupiah. “Kondisi ini diperparah dengan melonjaknya harga minyak dunia, terutama setelah Iran memutuskan menutup Selat Hormuz,” ujarnya.
Penutupan selat strategis ini dikonfirmasi oleh media pemerintah Iran, Press TV, yang menyatakan bahwa parlemen negara tersebut telah sepakat untuk menutup jalur pelayaran tersebut. Keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Selat Hormuz, yang menghubungkan Teluk Persia dengan laut lepas, merupakan jalur vital pengangkutan energi dunia. Sekitar 20% dari pasokan minyak global dan 30%-35% LNG dunia melewati selat ini. Iran juga memiliki kendali atas jalur pelayaran penting lainnya di kawasan Laut Merah.
Syafruddin Karimi, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas, menyebut bahwa gangguan di Selat Hormuz dapat berdampak besar pada perekonomian global. “Lonjakan harga minyak akan memicu tekanan inflasi dan mempersempit ruang kebijakan moneter berbagai negara, termasuk Indonesia,” jelasnya.
Menurut Karimi, Indonesia menghadapi tantangan serius dari sisi fiskal dan stabilitas nilai tukar. “Depresiasi rupiah dapat mendorong naiknya harga barang impor. Di sisi lain, belanja subsidi energi berisiko membengkak, menekan anggaran negara,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa jika skenario terburuk yang diproyeksikan Oxford Economics terjadi di mana harga minyak dunia melonjak ke US$130 per barel dari posisi saat ini sekitar US$70 dampaknya akan sangat signifikan terhadap perekonomian global maupun domestik.
Sumber: CNBC Indonesia


