IBX-Jakarta. Empat bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah resmi mengumumkan pembagian dividen untuk tahun buku 2024 dengan total mencapai Rp109,9 triliun. Dari jumlah tersebut, sebesar Rp59,1 triliun disetorkan kepada negara, meningkat 19% dibandingkan setoran dividen pada tahun sebelumnya.
Bank Rakyat Indonesia (BRI) tercatat sebagai penyumbang dividen terbesar dengan total Rp51,7 triliun, yang setara dengan 86% dari laba bersih BRI tahun 2024. Dari jumlah tersebut, Rp27,7 triliun merupakan setoran kepada negara. Bank Mandiri menyusul dengan dividen sebesar Rp43,5 triliun (76% dari laba bersih), di mana Rp22,6 triliun diserahkan ke negara. Selanjutnya, Bank Negara Indonesia (BNI) menyumbang dividen sebesar Rp13,9 triliun, dengan Rp8,4 triliun sebagai setoran ke negara—menjadikan BNI sebagai bank dengan kenaikan setoran dividen tertinggi, yakni sebesar 91%. Adapun Bank Tabungan Negara (BTN) juga membagikan dividen sebesar Rp13,9 triliun (65% dari laba bersih), dengan Rp451,1 miliar disetorkan kepada negara, meningkat 24% dibanding tahun sebelumnya.
Di balik kontribusi signifikan sektor perbankan BUMN terhadap penerimaan negara melalui dividen, terdapat ketentuan perpajakan yang cukup menarik untuk dicermati. Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) menyebutkan bahwa dividen termasuk dalam objek pajak penghasilan (PPh). Namun demikian, dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f, diatur bahwa dividen dikecualikan dari objek pajak apabila dividen tersebut diinvestasikan kembali di dalam negeri.
Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen investasi yang dimaksud diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 18 Tahun 2021, khususnya pada Pasal 34 dan Pasal 35. Instrumen tersebut mencakup berbagai produk pasar keuangan seperti obligasi, saham, sukuk, reksa dana, serta investasi langsung ke sektor riil, infrastruktur, properti, logam mulia, hingga pendanaan UMKM. Investasi harus dilakukan paling lambat akhir bulan ketiga (untuk wajib pajak orang pribadi) atau akhir bulan keempat (untuk wajib pajak badan) setelah tahun pajak berakhir, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (1) PMK tersebut.
Kebijakan ini tentu dimaksudkan untuk mendorong penanaman kembali modal di dalam negeri dan memperkuat ekonomi nasional. Namun, di sisi lain, muncul perdebatan mengenai keadilan fiskal dalam implementasinya. Fasilitas pembebasan pajak atas dividen yang diinvestasikan kembali lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat dengan kepemilikan modal besar—seperti investor institusi dan individu dengan kepemilikan saham yang signifikan.
Sementara itu, kelompok masyarakat lainnya, seperti pegawai atau pelaku usaha mikro dan kecil, tetap menjadi kelompok yang paling terdampak oleh pungutan pajak rutin. Hal ini menimbulkan kesan bahwa sistem perpajakan cenderung memberikan ruang lebih besar bagi kelompok berpenghasilan tinggi untuk mengoptimalkan fasilitas pajak, yang pada akhirnya dapat memperlebar kesenjangan ekonomi.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk terus mengevaluasi implementasi kebijakan perpajakan yang tidak hanya mendorong investasi, namun juga menjamin asas keadilan dan kesetaraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Pajak, sebagai salah satu instrumen utama distribusi kesejahteraan, seharusnya mampu memberikan kontribusi yang proporsional dan mencerminkan prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.
Sumber: Bisnis.com