

IBX-Jakarta. Ekonom menyoroti ironi di balik rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, sementara implementasi pajak karbon yang sudah diwacanakan sejak 2021 masih belum terealisasi. Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, menyatakan bahwa langkah pemerintah ini mencerminkan kecenderungan ‘pilih kasih’ dalam kebijakan perpajakan. Menurutnya, kenaikan PPN menjadi opsi yang lebih mudah diambil untuk meningkatkan penerimaan negara, karena mekanismenya sederhana dan infrastruktur pajaknya sudah tersedia. “Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% itu sangat mudah dilakukan,” ujarnya dalam Media Brief bertajuk Menggugat Kenaikan PPN 12%, Jumat (29/11/2024).
Di sisi lain, pembahasan mengenai pajak karbon masih berjalan lambat karena pemerintah sedang menghitung valuasi karbon, menentukan cakupan sektor yang akan dikenai pajak, dan mencapai kesepakatan multilateral. “Jadi, pemerintah cenderung memilih yang lebih mudah, sementara pajak karbon tidak dioptimalkan. Akhirnya, fokusnya hanya pada kenaikan PPN 12%,” tambah Media.
Menurut Media, pajak karbon sebenarnya dapat menjadi solusi alternatif yang tidak hanya mendorong pengurangan emisi, tetapi juga memberikan tambahan penerimaan negara. Ia juga mengusulkan penerapan pajak progresif lainnya, seperti pajak kekayaan bagi individu dengan pendapatan tinggi, atau pajak windfall untuk sektor yang memperoleh keuntungan besar seperti tambang dan kelapa sawit. Selain itu, ia menyoroti pentingnya menutup kebocoran pajak di sektor sawit serta transaksi digital lintas negara. Media menilai pajak-pajak alternatif ini lebih adil karena menyasar kelompok dengan kemampuan finansial yang lebih besar dibandingkan membebani masyarakat berpenghasilan rendah yang rentan terhadap kenaikan tarif.
Selain usulan tersebut, Media menekankan pentingnya reformasi sistem perpajakan, termasuk memperluas basis pajak dan meningkatkan efisiensi pemungutan, untuk memastikan penerimaan negara dapat meningkat secara berkelanjutan. Langkah ini dinilai lebih strategis dibanding hanya mengandalkan kenaikan tarif PPN.
Dalam laporan Survei Ekonomi OECD Indonesia 2024, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) juga mendorong percepatan penerapan pajak karbon untuk mendukung transisi menuju pasar energi berbasis harga. OECD merekomendasikan agar regulasi terkait diserahkan kepada otoritas independen yang memiliki kekuasaan dan sumber daya memadai. “Penerapan pajak karbon yang tepat harus segera dipercepat,” tulis OECD dalam laporan tersebut.
*Disclaimer
Sumber: Ekonom Soroti Pemerintah Lebih Pilih PPN 12% Ketimbang Pajak Karbon