Intercounbix

Shaping a sustainable future

Transfer Pricing | Accounting | Tax | Business Advisory

Keputusan Trump Tarik Diri dari Kesepakatan Pajak Global: Dampak bagi Negara Berkembang dan Indonesia

IBX-Jakarta. Pada hari pertama masa jabatannya, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menandatangani serangkaian perintah eksekutif yang mengubah arah kebijakan luar negeri dan ekonomi AS. Salah satu keputusan paling signifikan yang diambil adalah menarik AS dari kesepakatan pajak minimum global, sebuah perjanjian internasional yang telah disetujui oleh lebih dari 140 negara pada 2021. 

Kesepakatan ini mewajibkan perusahaan multinasional untuk membayar pajak dengan tarif minimum sebesar 15 persen. Inisiatif ini digagas oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) bersama negara-negara G20, dengan tujuan mengurangi praktik penghindaran pajak global.

Pemerintahan sebelumnya, yang dipimpin oleh Joe Biden, merupakan salah satu pendukung utama kesepakatan pajak minimum global. Namun, di bawah kepemimpinan Trump, AS memilih untuk menarik diri dari kesepakatan tersebut, sekaligus membatalkan sejumlah kebijakan yang sebelumnya diterapkan oleh pemerintahan Biden. Keputusan ini berpotensi menciptakan ketidakpastian dalam implementasi pajak minimum global, terutama bagi negara-negara yang baru saja mengadopsi kebijakan serupa.

Indonesia, misalnya, mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024 pada 31 Desember 2024, yang menetapkan aturan pajak minimum global. Langkah ini diambil untuk mengurangi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh banyak perusahaan multinasional dengan cara memindahkan keuntungan mereka ke negara-negara dengan tarif pajak rendah, yang sering disebut sebagai “suaka pajak”. 

Perusahaan-perusahaan besar seperti Google, Amazon, dan lainnya sering melaporkan keuntungan besar di cabang yang terletak di negara-negara dengan pajak rendah, sementara cabang mereka di negara asal melaporkan keuntungan yang jauh lebih kecil, memanfaatkan celah-celah dalam sistem perpajakan yang ada.

Praktik ini juga memicu fenomena global yang dikenal dengan istilah “race to the bottom“, di mana negara-negara saling berlomba untuk menurunkan tarif pajak mereka demi menarik lebih banyak investasi dari perusahaan-perusahaan besar. Meskipun hal ini menguntungkan bagi negara dengan tarif pajak rendah, negara-negara dengan tarif pajak yang lebih tinggi, seperti Indonesia yang memiliki tarif pajak perusahaan sebesar 22 persen, justru dirugikan. 

Perbedaan tarif pajak ini mendorong perusahaan-perusahaan besar untuk memindahkan keuntungan mereka ke negara dengan tarif pajak yang lebih rendah, seperti Irlandia dan Swiss, yang hanya mengenakan tarif antara 12 hingga 15 persen.

Akibatnya, negara-negara berkembang seperti Indonesia, yang mengandalkan pajak sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara, menjadi pihak yang paling dirugikan. Pemerintah Indonesia berharap dengan adanya pajak minimum global, kesetaraan dalam persaingan pajak antarnegara dapat tercipta, dan praktik penghindaran pajak dapat diminimalisir. Namun, keputusan AS untuk menarik diri dari kesepakatan ini menambah tantangan bagi negara-negara yang berusaha mengatasi masalah penghindaran pajak tersebut.

Keputusan ini juga menyoroti ketegangan antara negara-negara besar dan kecil dalam upaya menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Meskipun pajak minimum global berpotensi memperbaiki kesenjangan pajak antarnegara, tanpa dukungan penuh dari negara-negara besar seperti AS, implementasi kebijakan ini bisa menghadapi rintangan yang signifikan. 

Negara-negara berkembang harus terus mencari solusi untuk mengatasi dampak dari kebijakan ini, yang berpotensi mengurangi pendapatan negara akibat penghindaran pajak yang meluas.

Sumber: Menyoal Mundurnya AS dari Pajak Minimum Global

Recent Posts

Single Year atau Multiple Year? Mana yang Lebih Cocok?

IBX-Jakarta. Untuk menentukan apakah penentuan harga transfer antara transaksi afiliasi termasuk wajar dan lazim sesuai dengan prinsip arm’s length principle perlu dilakukan adanya analisis kesebandingan. Dalam melakukan analisis kesebandingan, untuk menentukan pembanding yang andal dan akurat, wajib pajak dapat memilih dalam penggunaan data pembanding, single year atau multiple year. OCED

Read More »