IBX – Jakarta. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali memicu ketegangan global dengan mengancam akan mengenakan tarif tambahan terhadap negara-negara yang menerapkan pajak digital (digital services tax/DST). Dalam pernyataannya pada Selasa (26/8/2025), Trump menuding rencana kebijakan pajak digital adalah bentuk diskriminasi terhadap perusahaan teknologi asal AS seperti Google, Meta, Apple, dan Amazon, yang sekaligus memberi keuntungan tidak adil kepada perusahaan asal China. Ancaman tersebut mempertegas sikap konfrontatif pemerintahan Trump terhadap kebijakan pajak internasional, menyusul keputusan AS yang sebelumnya menarik diri dari kesepakatan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT).
Sikap AS ini menjadi pukulan bagi upaya multilateral yang telah dibangun selama bertahun-tahun di bawah kerangka Inclusive Framework Base Erosion and Profit Shifting (IF BEPS) yang diinisiasi oleh OECD. Meski sejumlah negara telah menyepakati pengaturan pemajakan digital dalam Pilar I BEPS, hingga kini belum ada solusi final yang dapat diterapkan secara global. Dalam konteks ini, Indonesia memilih bersikap hati-hati. Pemerintah menegaskan tidak akan mengambil langkah unilateral dalam menerapkan DST, dan tetap berkomitmen pada pendekatan multilateral sebagaimana tertuang dalam forum IF BEPS. Menurut Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, komitmen ini penting untuk menghindari gesekan internasional, apalagi Indonesia juga telah menjadi bagian dari konsensus global mengenai pajak digital.
Di sisi lain, pemerintah tetap melanjutkan penerapan pajak minimum global sebagai bagian dari reformasi perpajakan nasional. Hal ini sejalan dengan PMK No. 136/2024 yang mengatur mekanisme penerapan GMT 15% bagi perusahaan multinasional. Fajry menilai, selama belum ada kesepakatan resmi di antara negara-negara Inclusive Framework terkait pengecualian bagi perusahaan AS, Indonesia masih memiliki dasar hukum untuk mengenakan GMT terhadap entitas asing. Bahkan, dia menyarankan pemerintah melakukan komunikasi aktif dengan otoritas fiskal AS guna meminimalkan risiko retaliasi atau sanksi perdagangan.
Di tengah ketegangan tersebut, Indonesia justru berhasil menegosiasikan penurunan tarif impor dari AS, dari sebelumnya 32% menjadi 19%. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa jalur diplomatik tetap terbuka, meskipun tekanan dari pemerintahan Trump semakin keras. Sementara itu, di dalam negeri, Kementerian Keuangan terus memperkuat instrumen perpajakan untuk menghadapi pergeseran struktur ekonomi ke arah digital. Menurut Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal, sektor jasa kini mendominasi struktur produk domestik bruto (PDB), dengan kontribusi mencapai 54,95% pada 2024. Di sisi lain, nilai transaksi ekonomi digital di Indonesia melonjak signifikan menjadi Rp1.454 triliun pada tahun yang sama, hampir empat kali lipat dari 2018.
Menanggapi perkembangan tersebut, pemerintah telah merilis tiga kebijakan utama. Pertama, penerapan pajak digital berbasis pemotongan otomatis sesuai PMK No. 37/2025, yang memudahkan pelaku usaha digital dalam memenuhi kewajiban pajaknya tanpa perlu menghitung, menyetor, dan melapor secara manual. Skema ini juga memberikan kemudahan bagi UMKM yang menggunakan tarif final 0,5%. Kedua, penyesuaian pajak atas aset kripto melalui PMK No. 50/2025 menyusul perpindahan pengawasan kripto dari Bappebti ke OJK. Kini, transaksi kripto dikenai PPh 0,21% untuk platform domestik dan 1% untuk platform luar negeri, sementara PPN dihapus karena kripto telah disetarakan dengan instrumen keuangan lain. Ketiga, penerapan global minimum tax yang berdampak pada skema insentif perpajakan yang selama ini digunakan untuk menarik investasi. Pemerintah kini sedang mengkaji ulang insentif seperti tax holiday dan tax allowance agar tetap relevan dan kompetitif di tengah perubahan rezim perpajakan global.
Kendati dinamika global menunjukkan arah yang semakin tidak pasti, Indonesia tetap konsisten pada jalur reformasi pajak yang terukur. Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga kedaulatan fiskal, sekaligus tetap berperan aktif dalam tata kelola perpajakan internasional.
Sumber: Ada Ancaman Tarif Tambahan Trump, Pajak Digital Makin Sulit Dikejar?


