IBX-Jakarta. Di era ekonomi digital, perusahaan multinasional memiliki kemampuan untuk memperoleh pendapatan dari suatu negara tanpa memiliki kehadiran fisik yang signifikan di negara tersebut. Fenomena ini memunculkan tantangan besar bagi sistem perpajakan internasional, karena model pajak konvensional masih bergantung pada konsep “kehadiran fisik” atau permanent establishment. Untuk mengatasi permasalahan ini, Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkenalkan reformasi perpajakan global melalui Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) 2.0, yang terdiri dari Pillar 1 dan Pillar 2.
Pillar 1: Hak Pemajakan di Era Digital
Pillar 1 bertujuan untuk mendistribusikan hak pemajakan secara lebih adil antara negara asal perusahaan dan negara pasar (tempat konsumen berada). Selama ini, perusahaan digital dapat memperoleh keuntungan besar dari negara pasar tanpa membayar pajak yang sepadan. Pilar ini mengusulkan mekanisme baru yang memungkinkan negara pasar untuk mengenakan pajak atas sebagian keuntungan perusahaan digital global.
Secara spesifik, Pillar 1 menetapkan:
- Redistribusi sebagian laba perusahaan multinasional dengan margin keuntungan tinggi (di atas 10%) kepada negara tempat konsumsi terjadi.
- Penghapusan pajak layanan digital (Digital Services Tax) yang diterapkan oleh beberapa negara sebagai solusi sementara.
- Standarisasi pendekatan global untuk menghindari pajak berganda dan meningkatkan kepastian bagi wajib pajak.
Meski demikian, implementasi Pillar 1 masih menghadapi tantangan, terutama dalam penentuan alokasi laba yang adil, penghapusan pajak digital unilateral, serta harmonisasi dengan sistem perpajakan nasional masing-masing negara.
Pillar 2: Pajak Minimum Global
Pillar 2 diperkenalkan untuk mengatasi praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional melalui negara dengan tarif pajak rendah. Prinsip utama dari pilar ini adalah penerapan pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan dengan pendapatan global di atas 750 juta euro. Jika suatu perusahaan membayar pajak lebih rendah dari ambang batas ini di suatu yurisdiksi, negara asal perusahaan dapat mengenakan pajak tambahan (top-up tax).
Empat komponen utama dalam Pillar 2 meliputi:
- Income Inclusion Rule (IIR): Pajak tambahan yang dikenakan oleh negara asal perusahaan jika anak perusahaannya membayar pajak di bawah 15%.
- Undertaxed Payment Rule (UTPR): Mekanisme yang memungkinkan negara pasar mengenakan pajak atas pembayaran yang dilakukan ke yurisdiksi dengan pajak rendah.
- Subject to Tax Rule (STTR): Aturan yang memungkinkan negara sumber untuk mengenakan pajak atas pembayaran ke yurisdiksi yang menetapkan pajak sangat rendah atau nol.
- Switch-over Rule (SoR): Perubahan metode pajak dari pembebasan menjadi kredit pajak bagi perusahaan yang memperoleh keuntungan dari negara dengan tarif pajak rendah.
Dampak bagi Indonesia
Sebagai negara berkembang dengan basis konsumen digital yang besar, Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan dalam implementasi BEPS 2.0. Dengan adanya Pillar 1, Indonesia dapat memperoleh hak pemajakan dari perusahaan digital global yang beroperasi di dalam negeri tanpa kehadiran fisik. Namun, perlu diwaspadai kemungkinan bahwa alokasi pajak berdasarkan mekanisme baru ini bisa lebih kecil dibandingkan dengan potensi pajak yang bisa dipungut melalui kebijakan nasional seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas produk digital. Sementara itu, penerapan Pillar 2 berpotensi mendorong perbaikan sistem pajak Indonesia dengan mempersempit ruang bagi perusahaan untuk memanfaatkan tarif pajak rendah di negara lain. Namun, Indonesia juga perlu menyesuaikan regulasi domestik agar sejalan dengan standar global ini, terutama dalam harmonisasi dengan ketentuan perpajakan minimum yang sudah diusulkan dalam reformasi pajak nasional.
Sumber: OECD


