Joko Budi Santoso selaku Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE FEB UB) menyatakan pemerintah perlu berhati-hati dalam menetapkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) 2025.
Kebijakan tarif CHT atau cukai rokok saat ini dengan 10 layer tarif dinilai cukup ideal untuk menjaga keseimbangan penerimaaan dan keberlangsungan industri dengan local content yang tinggi. Dengan peredaran rokok ilegal yang semakin masif, maka penambahan layer untuk kategori rokok ilegal dapat menjadi pertimbangan.
Berdasarkan riset PPKE FEB UB dan analisis Bea Cukai menunjukkan harga rokok saat ini telah melewati titik maksimum, sehingga apabila terjadi kenaikan cukai maka terjadi diminishing (penurunan pertumbuhan) penerimaan CHT.
Hal tersebut disebabkan karena kenaikan tarif cukai meningkatkan harga rokok, namun tidak dibarengi dengan kenaikan daya beli masyarakat sehingga tingkat keterjangkauan rokok menjadi menurun.
Lebih lanjut Santoso berpendapat bahwa penurunan keterjangkauan atas rokok akan berdampak pada penurunan volume produksi yang akan memengaruhi penerimaan CHT. Untuk itu kenaikan CHT secara ideal tidak lagi eksesif untuk menjaga penerimaan negara dan pertumbuhan industri.
Santoso juga menjelaskan secara teori perilaku konsumsi masyarakat dapat dikendalikan melalui harga dengan tarif sebagai salah satu instrumen. Namun, hal tersebut tidak terjadi pada konsumsi barang yang bersifat adiktif yang dibuktikan dengan kenaikan tarif CHT yang tidak linear dengan penurunan konsumsi rokok.
Pada kalangan menengah kebawah kenaikan tarif cukai disiasati dnegan mengkonsumsi rokok dengan harga yang lebih terjangkau. Hal ini membuka peluang pasar bagi rokok dengan harga lebih murah yang didominasi oleh rokok ilegal. Untuk itu diperlukan upaya lain diluar instrumen tarif.