IBX – Jakarta. Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan kembali penerapan pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT) sebesar 15 persen, meskipun kebijakan tersebut secara resmi telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024 dan mulai berlaku tahun ini. Pertimbangan ulang itu muncul seiring kekhawatiran bahwa penerapan GMT dapat menurunkan daya saing Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Indonesia di tengah kompetisi global menarik investasi asing.
KEK merupakan wilayah yang secara geografis ditetapkan oleh pemerintah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi tertentu dengan dukungan insentif fiskal dan nonfiskal. Tujuannya adalah menarik investasi, meningkatkan ekspor, menciptakan lapangan kerja, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah. Di kawasan ini, pemerintah memberikan perlakuan khusus berupa kemudahan perizinan, infrastruktur yang disiapkan, hingga fasilitas perpajakan yang lebih ringan dibanding wilayah umum. Namun, dengan adanya pajak minimum global yang menetapkan tarif pajak minimal 15% bagi perusahaan multinasional, ruang manuver pemberian insentif di KEK menjadi lebih sempit.
Diskusi antara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan masih berlangsung. Pemerintah mencermati bahwa sejumlah negara lain yang semula mendukung pilar pajak global OECD/G20 juga mulai meninjau kembali atau menunda implementasi GMT di yurisdiksi mereka. Artinya, Indonesia tidak sendirian dalam bersikap hati-hati terhadap kebijakan global tersebut.
Sebagai bagian dari Pilar 2 dalam kesepakatan OECD/G20, GMT mengatur kewajiban pajak minimal sebesar 15 persen bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan tahunan global lebih dari 750 juta euro. Kebijakan ini ditujukan untuk mencegah persaingan tarif pajak antarnegara secara ekstrem (race to the bottom) dalam upaya menarik investor. Hingga kini, lebih dari 49 negara telah mulai mengadopsi Pilar 2 ke dalam aturan domestik mereka, termasuk Indonesia.
Namun demikian, penerapan pajak minimum global menghadirkan tantangan tersendiri bagi negara berkembang seperti Indonesia yang masih sangat mengandalkan insentif fiskal untuk menarik investor asing, terutama di kawasan KEK. Dalam konferensi pers terbaru, pemerintah mengungkapkan bahwa negara-negara pesaing Indonesia telah lebih dahulu menyiapkan paket insentif pajak yang jauh lebih agresif di kawasan ekonomi khususnya.
Misalnya, Thailand memberikan potongan tarif pajak penghasilan badan (CIT) hingga 20 persen, pembebasan pajak untuk industri prioritas, serta insentif khusus bagi sektor teknologi tinggi dan penelitian. Malaysia menawarkan pengurangan pajak investasi hingga 100 persen selama lima tahun, disertai insentif reinvestasi yang dapat diperpanjang hingga satu dekade. Vietnam, Filipina, dan India juga masing-masing memiliki kebijakan pembebasan pajak penghasilan, diskon CIT jangka panjang, dan pengurangan bea masuk untuk menarik pelaku usaha, baik dari sektor ekspor maupun domestik.
Di sisi lain, Indonesia menghadapi tantangan dari segi skala. Total luas kawasan KEK di Indonesia saat ini hanya mencapai sekitar 23.800 hektare—jauh tertinggal dibanding Thailand (622 ribu hektare), Malaysia (2,14 juta hektare), Vietnam (1,62 juta hektare), Filipina (70 ribu hektare), dan India (39 ribu hektare). Perbedaan ini menunjukkan bahwa potensi pengembangan KEK nasional masih sangat besar, baik dari sisi perluasan wilayah maupun penyesuaian insentif agar lebih kompetitif.
Pemerintah pun membuka ruang untuk menyempurnakan kebijakan KEK ke depan, termasuk kemungkinan mengkaji ulang jenis dan bentuk insentif fiskal maupun nonfiskal yang ditawarkan. Tujuannya tidak hanya untuk menjaga daya saing Indonesia di tengah penerapan pajak minimum global, tetapi juga agar KEK benar-benar mampu menjadi motor penggerak investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Sumber: Kemenko Perekonomian: Pemberlakuan Pajak Minimum Global Dipertimbangkan Lagi


