

IBX-Jakarta. Penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital di Indonesia tercatat mencapai Rp32,32 triliun dalam periode 2020-2024. Angka ini mencerminkan kontribusi pajak dari berbagai kegiatan ekonomi melalui sistem elektronik, yang mencakup pajak pertambahan nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE), pajak kripto, pajak fintech, dan pajak atas transaksi pengadaan barang melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP).
Menurut data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), penerimaan terbesar berasal dari PPN PMSE yang tercatat sebesar Rp25,35 triliun. Selain itu, sektor pajak kripto berkontribusi Rp1,09 triliun, pajak fintech (P2P lending) mencapai Rp3,03 triliun, dan pajak SIPP sebesar Rp2,85 triliun.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, menyatakan bahwa hingga 31 Desember 2024, sektor ekonomi digital berkontribusi sebesar Rp32,5 triliun dalam bentuk setoran pajak. Angka ini menunjukkan pertumbuhan signifikan dari tahun ke tahun, seiring dengan peningkatan transaksi digital di Indonesia.
Sebanyak 211 perusahaan yang bergerak di sektor digital telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE. Ini mencakup penunjukan baru pada Desember 2024, yang melibatkan perusahaan internasional seperti Pearson Education Limited, Travian Games GmbH, dan Amazon Mexico. Dalam lima tahun terakhir, pemungut PPN PMSE berhasil menyetorkan pajak dengan rincian sebagai berikut: Rp731,4 miliar pada 2020, Rp3,90 triliun pada 2021, Rp5,51 triliun pada 2022, Rp6,76 triliun pada 2023, dan Rp8,44 triliun pada 2024.
Pajak dari sektor kripto tercatat mencapai Rp1,88 triliun, dengan kontribusi terbesar pada 2024 sebesar Rp620,4 miliar. Penerimaan ini berasal dari PPh 22 atas transaksi penjualan kripto di exchanger dan PPN atas pembelian kripto di platform yang terdaftar.
Sektor fintech, khususnya P2P lending, turut berperan penting dengan penerimaan pajak mencapai Rp3,03 triliun pada periode yang sama. Penerimaan ini meliputi PPh 23 atas bunga pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) dan Badan Usaha Tetap (BUT), PPh 26 atas bunga pinjaman yang diterima oleh Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN), serta PPN yang terkait dengan transaksi fintech.
Pajak atas transaksi pengadaan barang dan jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) juga berkontribusi signifikan, dengan total penerimaan mencapai Rp2,85 triliun. Sebagian besar penerimaan ini berasal dari PPN atas pengadaan barang dan jasa yang tercatat di sistem SIPP.
Dwi Astuti menekankan bahwa pemerintah Indonesia akan terus berupaya menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam berusaha antara pelaku usaha konvensional dan digital. Oleh karena itu, penunjukan pemungut pajak untuk pelaku usaha digital luar negeri yang berjualan produk atau layanan di Indonesia akan terus berlanjut.
Ke depan, pemerintah juga akan menggali potensi pajak dari sektor digital lainnya, seperti pajak kripto atas transaksi aset kripto, pajak fintech atas bunga pinjaman, dan pajak SIPP atas transaksi pengadaan barang dan jasa. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa sektor ekonomi digital dapat berkontribusi lebih besar terhadap penerimaan negara.
Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan sektor ekonomi digital Indonesia dapat terus berkembang, sekaligus memenuhi kewajiban pajak secara adil dan merata.
Sumber: DJP Raup Rp32,32 T dari Setoran Pajak Kripto-Fintech di 2020-2024