

IBX-Jakarta. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat regulasi perpajakan guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah pengaturan terkait Faktur Pajak, yang diatur dalam Pasal 382 hingga Pasal 391. Ketentuan ini mengatur secara rinci kewajiban, prosedur, serta sanksi terkait pembuatan Faktur Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Pasal 382 menegaskan bahwa PKP wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP). Hal ini berlaku baik untuk transaksi domestik maupun ekspor. Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan BKP/JKP, penerimaan pembayaran sebelum penyerahan barang/jasa, penerimaan termin pada proyek bertahap, atau ekspor BKP berwujud maupun tidak berwujud, serta JKP. Jika kewajiban ini tidak dipenuhi, PKP akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Pada Pasal 383, diatur bahwa PKP dapat membuat Faktur Pajak gabungan untuk transaksi dengan pembeli yang sama dalam satu bulan kalender. Faktur Pajak gabungan ini harus diterbitkan paling lambat pada akhir bulan transaksi. Pasal 384 mengingatkan bahwa Faktur Pajak yang dibuat lebih dari tiga bulan setelah waktu wajib pembuatannya dianggap tidak sah. Akibatnya, Pajak Masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan.
Pasal 385 menetapkan bahwa Faktur Pajak harus berisi informasi lengkap, seperti identitas penjual dan pembeli (termasuk NPWP atau NIK untuk individu), rincian barang atau jasa, jumlah harga, potongan, dan pajak yang dipungut, serta tanggal, nomor seri, dan tanda tangan elektronik dari pihak yang berwenang.
Pasal 386 dan 387 menggarisbawahi pentingnya penggunaan Faktur Pajak elektronik (e-Faktur). PKP wajib mengunggah Faktur Pajak ke sistem DJP dan memperoleh persetujuan. Faktur yang tidak disetujui oleh DJP tidak dianggap sah dan Pajak Masukan yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan.
Pasal 389 memberikan ruang bagi PKP untuk memperbaiki kesalahan dengan menerbitkan Faktur Pajak pengganti. Selain itu, jika transaksi batal, PKP wajib membatalkan Faktur Pajak yang telah diterbitkan. Namun, jika PKP tidak mengisi Faktur Pajak secara benar, lengkap, dan jelas, sebagaimana diatur dalam Pasal 391, mereka akan dikenai sanksi, dan Pajak Masukan pada Faktur tersebut tidak dapat dikreditkan.
Pasal 390 mengatur pengecualian dalam situasi kahar, seperti bencana alam atau sosial, yang memungkinkan PKP untuk membuat Faktur Pajak non-elektronik. Keadaan kahar harus ditetapkan oleh DJP sebagai kejadian yang tidak dapat dihindarkan.
Direktur Jenderal Pajak mengingatkan seluruh PKP untuk memahami dan mematuhi ketentuan ini. “Penggunaan e-Faktur adalah bagian dari upaya kami meningkatkan efisiensi dan transparansi administrasi perpajakan. Dengan kepatuhan yang tinggi, kami optimistis dapat menciptakan sistem perpajakan yang adil dan modern,” ujarnya.
Pasal 382 hingga 391 memberikan panduan jelas tentang pengelolaan Faktur Pajak yang wajib ditaati oleh PKP. Penguatan regulasi ini tidak hanya bertujuan meningkatkan kepatuhan, tetapi juga mendorong modernisasi sistem perpajakan di Indonesia. Bagi para PKP, penting untuk segera beradaptasi dengan perubahan ini guna menghindari sanksi dan mendukung terciptanya sistem pajak yang lebih baik.
*Disclaimer
Sumber: PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81 TAHUN 2024