IBX-Jakarta. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2024 mengatur mengenai Pencatatan dan Pembukuan Untuk Tujuan Pajak. Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait ketentuan wajib pajak yang yang memenuhi kriteria untuk melakukan pencatatan dan pembukuan.
Berdasarkan Pasal 448 PMK 81/2024:
Dijelaskanpada ayat (1) bahwasannya setiap wajib pajak di Indonesia yang melakukan kegiatan usaha maupun pekerjaan bebas harus menyelenggarakan pembukuan, sebagai berikut:
“Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan Pembukuan”.
Lalu, pada ayat (2) terdapat pengecualian bagi wajib pajak yang tidak harus menyelenggarakan pembukuan dan dapat melaksanakan pencatatan, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.
Berdasarkan Pasal 449 PMK 81/2024:
Berdasarkan pasal ini, dijelaskan pada ayat (1) bahwasannya pencatatan yang dimaksud pada ayat (2) pasal 449 harus disusun secara teratur dan akan menjadi dasar pajak terutang. Selanjutnya, pada ayat (2) pasal ini juga dijelaskan bahwa wajib pajak harus melakukan pencatatan dengan, sebagai berikut:
1. Dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan;
2. Di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab dan satuan mata uang rupiah sebesar nilai yang sebenarnya dan/atau seharusnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
3. Dalam suatu Tahun Pajak berupa jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember; dan
4. Secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau Penghasilan Bruto.
Berdasarkan Pasal 450 PMK 81/2024:
Pada pasal ini juga diatur mengenai Wajib Pajak yang memenuhi kriteria untuk melaukukan pembukuan, tepatnya pada ayat (1) dengan rincian sebagai berikut :
1. Melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas; dan
2. Peredaran bruto dari kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Lalu, pada ayat (2), wajib pajak yang menyelenggarakan pembukuan dapat menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan melakukan pencatatan, dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun Pajak yang bersangkutan.
Kemudian, Jika Wajib Pajak baru terdaftar pada Tahun Pajak yang bersangkutan, maka pemberitahuan mengenai penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto harus dilakukan paling lambat dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat terdaftar atau pada akhir Tahun Pajak, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu sesuai dengan yang tertutang dalam aya (3). Lalu sebagaimana yang ada pada ayat (4) ,apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam jangka waktu yang telah ditetapkan, maka Wajib Pajak dianggap memilih untuk menyelenggarakan Pembukuan.
Berdasarkan Pasal 451 PMK 81/2024:
Pada pasal (1) dijelaskan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) huruf c adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas, serta pada ayat (2) jika wajib pajak memiliki peredaran bruto yang secara keseluruhan dikenai Pajak Penghasilan bersifat final dan/atau bukan objek pajak, dengan jumlah yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak dapat melaksanakan pencatatan.
Berdasarkan Pasal 452 PMK 81/2024:
Peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 450 ayat (1) huruf b dan Pasal 451 ayat (1) huruf b angka 2 dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan peredaran bruto dari setiap jenis dan/atau tempat usaha serta pekerjaan bebas pada Tahun Pajak sebelumnya. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi merupakan suami istri, terdapat dua ketentuan yang berlaku. Pertama, jika suami istri menghendaki adanya perjanjian pemisahan harta dan penghasilan secara tertulis. Kedua, jika istri memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Pajak Penghasilan, maka besarnya peredaran bruto ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto dari usaha dan/atau pekerjaan bebas suami dan istri.
Berdasarkan Pasal 453 PMK 81/2024:
Pada pasal ini tepatnya pada ayat (1) dijelaskan bagi wajib pajak yang tergolong dalam Pasal 448 ayat (2) huruf a , yaitu meliputi:
1. Peredaran bruto yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final;
2. Penghasilan Bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
3. peredaran bruto dan/atau Penghasilan Bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas;
Lalu pada ayat (2) dijelaskan wajib pajak yang tergolong dalam Pasal ayat (2) huruf b, meliputi:
1. Penghasilan Bruto yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
2. Penghasilan Bruto yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final;
Dan bagi wajib pajak yang tergolong dalam Pasal ayat (2) huruf c, meliputi :
1. Penghasilan Bruto yang berasal dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang dikenai Pajak Penghasilan yang tidak bersifat final, serta biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan tersebut; dan/atau
2. peredaran bruto dan/atau Penghasilan Bruto yang bukan objek pajak dan/atau dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final, baik yang berasal dari kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas maupun dari luar kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas.
di Pasal ini juga dijelaskan bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c yang mempunyai lebih dari 1 (satu) jenis usaha, tempat usaha, dan/atau pekerjaan bebas, pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dapat menggambarkan jelas untuk setiap:
1. Jenis dan/atau tempat usaha; dan/atau
2. Pekerjaan bebas yang bersangkutan.
serta, selain harus melakukan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 ayat (2) harus melakukan pencatatan atas harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berdasarkan Pasal 454 PMK 81/2024:
Pada pasal ini dijelaskan Wajib Wajak Orang Pribadi yang melakukan pencatatan secara elektronik maupun non-elektronik menggunakan buku, catatan, dan dokumen yang digunakan dan dokumen lain, diwajibkan menyimpan berbagai tools tersebut selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, pada tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi
Berdasarkan Pasal 455 PMK 81/2024:
Pada ayat (1) dijelaskan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan di Indonesia wajib menyelenggarakan Pembukuan harus menyelenggarakan pembukuan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia, kecuali peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan menentukan lain.
Selanjutnya pada ayat (2), pembukuan harus dilaksanakan dengan sebagai berikut:
a. Dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
b. Di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia; dan
c. Secara konsisten dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
Lalu pelaksanaan pada ayat (3) dikecualikan dari ayat (2) dalam pelaksanaan pembukuan dapat menggunakan bahasa asing, atau bahasa asing dan mata uang selain rupiah setelah mendapat izin Menteri, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Berikutnya, Prinsip taat asas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan prinsip yang sama yang digunakan dalam metode Pembukuan dengan Tahun Pajak-Tahun Pajak sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.
Selain itu prinsip taat asas dalam metode Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat berupa:
a. Stelsel pengakuan penghasilan
b. Tahun Buku
c. Metode Penilaian persediaan
d. Metode penyusutan dan amortisasi
dan jika terjadi perubahan atas prinsip di atas maka harus atas persetujuan Direktur Jendral Pajak
Untuk apa saja yang ada pada pembukuan, disebutkan pada ayat (7) dengan rincian sebagai berikut:
1. Harta
2. Kewajiban
3. Modal
4. Penghasilan dan Biaya
5. Harga Perolehan dan Penyerahan barang atau jasa termasuk penjualan dan pembelian
Sumber : PMK 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan