Intercounbix

Shaping a sustainable future

Transfer Pricing | Accounting | Tax | Business Advisory

PMK 81/2024: Penunjukkan Kontraktor Untuk PPN Migas

IBX-Jakarta. Dalam sistem perpajakan Indonesia, kontraktor atau pemegang izin di sektor strategis, seperti pengusahaan minyak, gas bumi, dan panas bumi, memegang peranan penting sebagai pemungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 298 hingga Pasal 304 PMK 81 Tahun 2024 ini, yang secara rinci mengatur tanggung jawab serta kewajiban mereka. Berdasarkan Pasal 298, kontraktor atau pemegang kuasa/pemegang izin ditunjuk sebagai pemungut PPN. Penunjukan ini mencakup kontraktor kontrak kerja sama pengusahaan minyak dan gas bumi serta kontraktor atau pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi, termasuk kantor pusat, cabang, maupun unit-unit yang dimilikinya. Penunjukan tersebut menunjukkan bahwa sektor ini memiliki karakteristik dan nilai strategis yang membutuhkan pengelolaan perpajakan yang transparan dan akuntabel.

Dalam pelaksanaannya, Pasal 299 mengatur bahwa kontraktor atau pemegang izin diwajibkan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPN dan PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) dari rekanan. Rekanan yang dimaksud adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang secara aktif melakukan penyerahan barang atau jasa kepada kontraktor atau pemegang izin. Dengan mekanisme ini, negara memastikan bahwa kewajiban perpajakan tetap terlaksana dalam rantai distribusi sektor ini, tanpa terkendala kompleksitas pengelolaan oleh banyak pihak.

Selanjutnya, perhitungan pajak yang dipungut diatur dalam Pasal 300, yang menyatakan bahwa jumlah PPN dan PPnBM harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam peraturan perpajakan. Hal ini memberikan panduan yang jelas mengenai besaran pajak yang harus dipungut, termasuk untuk transaksi yang selain dikenakan PPN juga terutang PPnBM. Namun, terdapat beberapa pengecualian yang diatur dalam Pasal 301, di mana pajak tidak dipungut oleh kontraktor atau pemegang izin dalam kondisi tertentu, seperti transaksi bernilai hingga Rp10 juta (termasuk pajak), penyerahan barang atau jasa yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak, penyerahan bahan bakar minyak dan non-minyak oleh PT Pertamina (Persero) dan anak usahanya, serta penyerahan jasa telekomunikasi dan angkutan udara. Ketentuan ini juga meliputi penyerahan barang dan jasa lain yang tidak dikenai PPN atau PPnBM sesuai peraturan perundang-undangan. Pengecualian ini memastikan bahwa proses pemungutan pajak tidak memberatkan transaksi tertentu dan tetap sejalan dengan kebijakan perpajakan nasional.

Rekanan juga memiliki kewajiban penting sesuai Pasal 302, yakni membuat Faktur Pajak atas setiap penyerahan BKP atau JKP kepada kontraktor atau pemegang izin. Faktur ini harus dibuat sesuai dengan momen yang ditentukan, seperti saat penyerahan barang atau jasa, penerimaan pembayaran sebelum penyerahan, atau penerimaan pembayaran termin. Faktur tersebut menjadi dokumen penting yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN, sehingga mendukung transparansi dan akurasi dalam pelaporan pajak.

Untuk memastikan alur perpajakan berjalan sesuai jadwal, Pasal 303 mengatur bahwa penyetoran pajak yang telah dipungut harus dilakukan paling lambat akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir. Hal ini mencakup penggunaan dokumen administrasi, seperti Surat Setoran Pajak, yang harus mencantumkan nama kontraktor atau pemegang izin sebagai pihak pemungut. Pelaporan pajak juga diwajibkan dilakukan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN, sehingga negara dapat memonitor kewajiban pajak yang telah dilaksanakan.

Ketidakpatuhan terhadap kewajiban perpajakan ini akan dikenakan sanksi sesuai Pasal 304. Sanksi berlaku untuk kontraktor atau pemegang izin yang gagal memenuhi kewajibannya, seperti tidak memungut, menyetor, atau melaporkan pajak sebagaimana diatur. Rekanan yang tidak membuat Faktur Pajak atau tidak melaporkannya juga akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang berlaku. Regulasi ini dirancang untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat dalam pengelolaan pajak di sektor strategis ini mematuhi peraturan secara penuh.

*Disclaimer

Sumber: PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 81 TAHUN 2024

Recent Posts

Skema Cooperative Compliance untuk Perusahaan Besar Akan Dikenalkan Ditjen Pajak pada 2026

IBX – Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang mempersiapkan pendekatan baru dalam pengawasan wajib pajak besar melalui penerapan konsep cooperative compliance yang akan dimulai pada tahun depan. Skema ini dirancang untuk melibatkan perusahaan-perusahaan besar dalam membangun sistem kepatuhan pajak yang lebih terintegrasi, mulai dari tahap awal transaksi

Read More »