IBX-Jakarta. Direktur Hukum Center of Economic and Law Studies (Celios), Mhd Zakiul Fikri, menegaskan bahwa pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang dijadwalkan berlaku pada 1 Januari 2025, sepenuhnya bergantung pada Presiden Prabowo Subianto. Fikri menyatakan, satu-satunya langkah yang dapat diambil pemerintah untuk menganulir kebijakan ini adalah melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), mengingat opsi lain dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak lagi tersedia.
“Penerbitan Perppu adalah solusi cepat menghadapi persoalan hukum dan ekonomi, khususnya saat DPR sedang reses. Langkah ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk melindungi rakyat sesuai amanat UUD 1945 dan prinsip negara kesejahteraan,” ujar Fikri dalam pernyataan tertulis pada Selasa (24/12/2024).
Dampak Ekonomi dari Kenaikan PPN
Kajian Celios yang berjudul “PPN 12%: Pukulan Telak Bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah” mengungkapkan dampak signifikan dari kebijakan ini terhadap inflasi dan daya beli masyarakat. Pengalaman kenaikan PPN dari 10% ke 11% pada 2022 menunjukkan inflasi melonjak hingga 3,47% (YoY), dengan puncak inflasi mencapai 4,94% pada Juli.
Simulasi Celios juga memperkirakan bahwa kelas menengah akan menghadapi kenaikan pengeluaran hingga Rp 354.293 per bulan atau Rp 4,2 juta per tahun. Sementara itu, keluarga miskin harus menanggung tambahan beban hingga Rp 101.880 per bulan atau Rp 1,2 juta per tahun. Hal ini bertolak belakang dengan pertumbuhan rata-rata gaji tahunan sebesar 3,5% yang pada 2023 hanya mencapai 2,8%.
Di tengah kondisi tersebut, angka pengangguran terus meningkat. Pada 2023, tingkat pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja (PHK) mencapai 11,7%, dengan 64.751 kasus PHK tercatat hingga November 2024.
Argumen Hukum dan Keadilan
Fikri menilai, Pasal 7 ayat (1) UU HPP 2021 melanggar prinsip kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum. “Jika kenaikan PPN yang berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat dipaksakan, maka norma tersebut telah mengabaikan kepatutan hukum dan menimbulkan ketidakadilan,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa pemerintah sebagai pelayan publik harus bertanggung jawab memastikan perlindungan kepentingan rakyat. “Pemerintah bukan sekadar pelaksana undang-undang, melainkan bertugas untuk menjaga keseimbangan antara hukum dan kesejahteraan rakyat,” tambahnya.
Dorongan untuk Terbitkan Perppu
Fikri menggarisbawahi tiga alasan mendesak bagi pemerintah untuk mengeluarkan Perppu pembatalan kenaikan PPN:
- Kebijakan ini menimbulkan masalah hukum yang mendesak, termasuk inflasi, penurunan daya beli, peningkatan pengangguran, dan ancaman bagi UMKM serta manufaktur.
- Norma hukum dalam Pasal 7 ayat (1) UU HPP tidak memadai dalam memenuhi asas keadilan.
- Kondisi saat ini tidak memungkinkan revisi undang-undang secara reguler karena prosesnya memakan waktu lama, sementara keadaan sudah mendesak.
“Dengan DPR dalam masa reses hingga 15 Januari 2025, pemerintah tidak memiliki alasan untuk menunda penerbitan Perppu. Langkah ini sejalan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 138/PUU-VII/2009,” tegasnya.
Sebagai penutup, Fikri mendorong Presiden Prabowo untuk memanfaatkan momentum ini dengan berpihak kepada rakyat kecil, meninggalkan kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir pihak, seperti yang terjadi dalam kebijakan tax amnesty di masa pemerintahan sebelumnya. “Ini saatnya Prabowo mengambil langkah nyata untuk mendukung masyarakat menengah bawah yang tengah terhimpit ekonomi,” pungkasnya.
*Disclaimer*
Sumber: Prabowo Punya Kuasa Batalkan PPN 12%, Begini Prosedur Hukumnya (CNBC Indonesia)