IBX-Jakarta. Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025, pemerintah resmi menetapkan bahwa platform marketplace kini bertugas memungut Pajak Penghasilan (PPh) dari para pedagang. Namun, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran bahwa sebagian pedagang akan beralih menjual produknya melalui media sosial seperti Instagram atau WhatsApp.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Rosmauli, menegaskan bahwa pelaku UMKM tetap memiliki kebebasan dalam memilih platform untuk berjualan. Baik bertransaksi di marketplace maupun lewat media sosial, semua penghasilan dari kegiatan usaha tetap dikenai PPh final sebesar 0,5 persen.
Ros menjelaskan bahwa diberlakukannya PMK-37/2025 bertujuan menciptakan kesetaraan antara pelaku usaha digital dan konvensional. Ia juga menambahkan bahwa DJP sedang menyusun regulasi yang mempermudah proses administrasi pajak demi meningkatkan tingkat kepatuhan pelaku usaha.
DJP, lanjutnya, akan memperkuat pengawasan terhadap transaksi digital yang berlangsung melalui media sosial, sebagai bagian dari perluasan strategi pengawasan yang sudah ada.
Ros juga menyatakan bahwa aturan ini sebenarnya menguntungkan UMKM karena sistem pemungutan pajaknya lebih sederhana dan terintegrasi. Ia menjelaskan bahwa tidak semua pedagang akan dikenai PPh Pasal 22 sebesar 0,5 persen—hanya mereka yang memiliki omzet tahunan antara Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar.
Sementara itu, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP, Hestu Yoga Saksama, menjelaskan bahwa pedagang dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tidak akan dikenai pemungutan pajak oleh marketplace. Namun, mereka perlu menyampaikan surat pernyataan kepada pihak marketplace agar dikecualikan dari pemotongan tersebut. Jika omzet melebihi Rp500 juta, pedagang harus memberitahu marketplace, yang kemudian akan mulai memungut pajak untuk transaksi-transaksi berikutnya.


