IBX – Jakarta. Film terbaru Rangga dan Cinta yang tayang tahun ini kembali menarik perhatian publik. Antusiasme penonton terhadap kisah cinta ikonik itu jadi bukti bahwa minat masyarakat terhadap film dalam negeri semakin tinggi. Bioskop kembali dipenuhi, dan industri perfilman lokal pun terlihat makin hidup.
Tapi di balik kesuksesan film-film lokal di layar lebar, ada cerita lain yang tak banyak disadari: beban pajak yang harus ditanggung para produser film dalam negeri. Berbeda dengan importir film asing, produser lokal justru menghadapi struktur pajak yang cukup kompleks, khususnya dalam hal Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Film, sebagai hasil karya cipta sinematografi, dinilai memiliki nilai tambah dibandingkan media kosong. Karena itu, saat film digunakan atau dieksploitasi di Indonesia — baik yang diproduksi di dalam negeri maupun diimpor — maka transaksi tersebut dikenai PPN sebagai bentuk pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud (BKPTB).
PPN dikenakan kepada produser lokal atas kegiatan produksi dan eksploitasi film dalam negeri, serta atas kegiatan impor dan eksploitasi film asing. Di sisi lain, importir film juga dikenai PPN saat mengimpor dan mengeksploitasi film asing di wilayah Indonesia. Meski tampak seimbang, perlakuan perpajakan terhadap keduanya ternyata berbeda dari sisi beban akhir yang ditanggung.
Data menunjukkan bahwa meskipun jumlah film lokal di bioskop masih lebih sedikit dibandingkan film impor, minat penonton terhadap film lokal terus meningkat setiap tahunnya. Namun dari sisi pendapatan, film impor masih lebih mendominasi pasar. Melihat kondisi tersebut, pemerintah mempertimbangkan penyempurnaan regulasi, termasuk pengaturan nilai lain sebagai dasar pengenaan pajak (DPP) atas film lokal, sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 121/PMK.03/2015.
Perhitungan penghasilan bruto dari penjualan tiket bioskop oleh produser lokal dan importir menunjukkan bahwa mereka telah melewati ambang batas Rp4,8 miliar per tahun sesuai PMK Nomor 197/PMK.03/2013. Artinya, baik produser maupun importir wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan dikenai kewajiban perpajakan penuh.
Struktur biaya yang ditanggung produser film lokal mencakup pemanfaatan berbagai jasa produksi yang dikenai PPN. Pendapatan mereka berasal dari bagi hasil tiket bioskop, setelah dipotong Pajak Hiburan (pajak daerah). Sementara itu, importir film menanggung bea masuk serta PPh Pasal 21 dan 26, dengan sumber pendapatan yang serupa.
Namun beban PPN antara keduanya tidak sama. Produser film lokal menanggung PPN masukan dari jasa produksi, tapi tidak bisa mengkreditkannya karena masih berlakunya SE-30/PJ.3/1987. Akibatnya, PPN menjadi beban nyata bagi produser lokal. Sebaliknya, importir film dapat mengkreditkan pajak masukannya dengan pajak keluaran, sehingga tidak menanggung beban PPN secara riil.
Kondisi ini menciptakan ketimpangan dalam skema perpajakan industri film. Produser lokal dikenai pajak berdasarkan asas domisili dan sumber, sedangkan importir hanya berdasarkan asas sumber. Di tengah semangat memajukan perfilman nasional, aspek perpajakan seperti ini menjadi salah satu hal yang perlu ditinjau kembali agar iklim industri lebih adil dan kompetitif.
Sumber : Pajak Pertambahan Nilai Yang Ditanggung Oleh Produser Film Dalam Negeri Dan Importir Film


