Menurut UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, deposito adalah investasi dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan akad antara nasabah penyimpan dan bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah (UUS). Fatwa DSN Nomor 3 Tahun 2000 menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan dalam syariah adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah. Dalam transaksi deposito mudharabah, nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk bermudharabah dengan pihak lain.
Modal yang didepositokan harus dinyatakan dalam bentuk tunai dan bukan piutang. Adapun pembagian pitang harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam pembukaan rekening. Sebagai mudharib, bank menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya dan bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan.
Siklus kegiatan deposito dimulai dari transaksi pembukaan deposito oleh nasabah. Pada saat itu, antara nasabah dan bank sudah menyepakati nisbah bagi hasil dasar dan jangka waktu deposito (tanggal pencairan deposito). Selama jangka waktu deposito, saldo deposito bersifat tetap, karena pengambilan atau penambahan deposito hanya dilakukan saat jatuh tempo atau saat penutupan jika ingin diambil sebelum jatuh tempo, bagi hasil yang diterima oleh nasabah dimasukkan ke rekening yang lain, dan pajak yang mesti dibayar langsung diambil dari bagi hasil yang akan diberikan kepada nasabah
*Dislaimer*
Sumber: Yaya, Martawireja, Abdurahim. Akuntansi Perbankan (Teori dan Praktik Kontemporer) Berdasarkan PAPSI 2013 Edisi II.