IBX-Jakarta. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) mengadakan sesi Dengar Pendapat Publik untuk membahas Draf Eksposur Standar Pengungkapan Keberlanjutan (DE SPK) sebagai bagian dari prosedur penyusunan standar. Kegiatan ini bertujuan memastikan adanya transparansi dan pemahaman mendalam tentang pengungkapan keberlanjutan di Indonesia. Pengungkapan keberlanjutan yang terintegrasi dengan laporan keuangan sangat krusial untuk aktivitas pasar modal, akses dana internasional, dan kegiatan perdagangan yang membutuhkan informasi bagi para investor.
Hal ini diungkapkan oleh Istini Sidharta selaku Ketua Dewan Standar Keberlanjutan (DSK) IAI dalam acara public hearing DE Pernyataan Standar Pengungkapan Keberlanjutan (PSPK) 1 dan 2 yang berlangsung di Grha Akuntan, Jakarta. Acara ini menghadirkan jajaran DSK IAI sebagai pembicara dan dihadiri sekitar 1.000 peserta dari berbagai kalangan secara hybrid. Para pemangku kepentingan diminta memberikan masukan terhadap DE SPK sebelum 31 Maret 2025.
Prabandari I. Moerti, Anggota DSK IAI, yang hadir sebagai narasumber menerangkan bahwa SPK yang akan dirilis IAI mengadopsi IFRS S1 dan S2 dari International Sustainability Standards Board (ISSB) dan bersifat principle based. Implementasi SPK akan memerlukan adaptasi, terutama karena sifatnya yang forward looking. Prabandari mengundang seluruh pemangku kepentingan untuk terlibat dalam proses adopsi dan implementasi, dengan dukungan dari pihak regulator.
“Pengungkapan ini tidak akan lepas dari seberapa resilience (ketahanan) organisasi terhadap aspek sustainability, krisis iklim, risiko, dan opportunity. Ini adalah sesuatu yang tidak dimasukkan ke dalam laporan keuangan sebelumnya. Jadi standar ini mencoba mengaitkan informasi yang bersifat eksternalitas ke dalam laporan keuangan. Idealnya, semua unit pengukurannya sama,” tutur akuntan profesional dari Deloitte itu.
Prabandari juga menyatakan bahwa para stakeholder sudah memahami tantangan dalam mengkuantifikasi dampak dan eksternalitas SPK. Oleh karena itu, standar ini menawarkan fleksibilitas yang memadai dan mengadopsi prinsip judgement berdasarkan pertimbangan manajemen perusahaan, terutama saat menghadapi ketidakpastian.
Sebelum rencana penerbitan PSPK, IAI telah menyelenggarakan beberapa sesi Dengar Pendapat Terbatas dengan mengundang pemangku kepentingan utama dari kalangan regulator dan asosiasi industri. Ini dilakukan untuk memastikan standar pengungkapan keberlanjutan yang akan diterapkan dapat dipahami semua pihak.
“Kita sekarang berada di era baru pelaporan keberlanjutan yang tidak hanya mengungkapkan informasi keuangan, tetapi juga mengintegrasikan keberlanjutan untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang kinerja perusahaan,” ungkap Istini.
Katharine Grace, yang menjabat sebagai Ketua Umum ICSA dan hadir sebagai peserta, memberikan respons positif terhadap pelaksanaan public hearing ini. Menurutnya, PSPK 1 dan PSPK 2 akan menjadi pedoman penting bagi perusahaan Indonesia dalam menyusun pelaporan keberlanjutan. Ia memperkirakan aspek keberlanjutan akan segera menjadi keharusan dalam dunia bisnis.
Era Baru Pelaporan Berkelanjutan
Transformasi dalam pelaporan perusahaan dimulai pada September 2020, ditandai dengan munculnya berbagai inisiatif keberlanjutan. IAI menyadari pentingnya peran akuntan yang lebih besar dalam pelaporan keberlanjutan, terutama dalam menghubungkan aspek keuangan dengan informasi keberlanjutan.
IAI telah aktif memimpin diskusi publik sejak pembentukan Task Force on Comprehensive Corporate Reporting pada Desember 2020. Tujuannya yaitu untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengungkapan keberlanjutan yang terintegrasi dengan laporan keuangan.
Saat Indonesia memegang presidensi G20 tahun 2022, negara ini mendukung pengakuan ISSB melalui G20 Bali Declaration. Para pemimpin G20 mendukung penyusunan ISSB Standards sebagai acuan global untuk pengungkapan keberlanjutan. Dukungan penerapan ISSB Standart juga datang dari berbagai organisasi internasional, dengan 26 negara berkomitmen untuk mengimplementasikannya.
Menanggapi perkembangan ini, IAI menyusun DE SPK dengan mengacu pada ISSB Standards. DE SPK terdiri dari dua komponen: DE PSPK 1 dan DE PSPK 2, yang masing-masing mengadopsi IFRS S1 dan S2. Standar ini mengharuskan perusahaan memiliki sistem pelaporan yang didukung tata kelola dan pengendalian internal yang memadai.
“Dengan adanya ketentuan PSAK 201 Penyajian Laporan Keuangan yang diterapkan pada DE PSPK 1, akuntan yang berpengalaman dalam pelaporan keuangan akan mampu memastikan kualitas pengungkapan yang sama dalam pelaporan keberlanjutan,” jelasnya.
DE SPK menghadirkan pendekatan yang lebih komprehensif dibandingkan paradigma pelaporan keberlanjutan sebelumnya yang lebih berfokus pada CSR atau filantropi. Pendekatan baru ini menekankan pada dampak menyeluruh perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat, dengan harapan dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi investor.
Cakupan DE PSPK 1 dan DE PSPK 2 mencakup pengungkapan yang terintegrasi dalam seluruh aspek bisnis perusahaan, mulai dari tata kelola hingga target dan metrik yang relevan. Kedua standar ini direncanakan akan berlaku efektif pada 1 Januari 2027, walaupun terlihat masih cukup lama, namun hal ini dapat memberikan waktu yang cukup bagi perusahaan untuk mempersiapkan sistem pelaporan yang terintegrasi.
Istini menyampaikan harapannya agar para pemangku kepentingan berkontribusi secara aktif dengan memberikan masukan untuk DE PSPK 1 dan DE PSPK 2, baik melalui partisipasi langsung dalam acara maupun penyampaian secara tertulis. “Marilah kita bersama-sama membangun masa depan di mana bisnis tidak hanya berfokus pada kemakmuran finansial, tetapi juga memperhatikan dampaknya terhadap bumi kita,” pungkasnya.
*Disclaimer