IBX – Jakarta. Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu) didesak untuk menetapkan kewajiban agar semua perusahaan yang melakukan transaksi afiliasi lintas negara menjalani audit eksternal khusus pada praktik transfer pricing. Usulan ini datang setelah pakar pasar menilai bahwa memperketat regulasi audit dapat membantu meminimalkan penghindaran pajak dan meningkatkan masuknya valuta asing ke dalam negeri.
Menurut analisis pasar oleh Samuel Sekuritas Indonesia, Harry Su, jika audit eksternal atas transfer pricing diwajibkan agar memperoleh opini “wajar tanpa syarat”, maka efeknya bisa signifikan: impor bisa turun, ekspor naik dengan volume yang sama, dan neraca transaksi berjalan pun membaik. Selain itu, penerimaan negara melalui pajak akan meningkat dan cadangan devisa berpotensi tumbuh secara substansial.
Praktik transfer pricing yang secara teknis legal kini menjadi celah besar. Misalnya, perusahaan afiliasi dapat menetapkan harga barang, jasa atau royalty antar-perusahaan dengan tujuan memindahkan laba ke negara dengan tarif pajak lebih rendah, sehingga penerimaan pajak Indonesia berkurang dan valas tidak sepenuhnya kembali ke dalam negeri. Laporan think-tank NEXT Indonesia bahkan memperkirakan selisih misinvoicing ekspor-impor (indikasi transfer pricing yang tidak wajar) rata-rata mencapai USD 40,2 miliar atau sekitar Rp 666 triliun per tahun selama 2013-2023.
Indonesia sejatinya telah memiliki regulasi mengenai transfer pricing, seperti kewajiban penyusunan dokumen master file, local file dan laporan country-by-country (CbCR) sesuai PMK 213/PMK.03/2016. Namun, regulasi audit eksternal khusus yang memastikan semua transaksi afiliasi diperiksa dan memperoleh opini independen masih belum diwajibkan secara eksplisit. Oleh karena itu, pakar menyarankan agar pemerintah memperkuat regulasi dengan menetapkan audit eksternal sebagai standar sebagaimana telah diterapkan di beberapa negara seperti India.
Misalnya, di India, perusahaan yang melakukan transaksi antar-afiliasi benar-benar diwajibkan menyerahkan laporan transfer pricing yang telah diaudit oleh akuntan publik dan disertifikasi melalui Form 3CEB. Sementara di Indonesia, institusi pajak semakin agresif dalam melakukan audit transfer pricing dengan mempergunakan pedoman seperti Surat Edaran SE-50/PJ/2013 dan metode penilaian arm’s-length (ALP) berdasarkan metode-metode seperti CUP, CPM, TNMM.
Penerapan audit eksternal wajib bagi transfer pricing dipandang memiliki beberapa manfaat praktis:
- Memberi sinyal kuat bahwa Indonesia serius menghadapi pengalihan laba (profit shifting).
- Meningkatkan transparansi transaksi afiliasi sehingga otoritas pajak bisa melakukan penilaian risiko lebih baik.
- Memaksa perusahaan untuk menahan praktik manipulasi harga antar-afiliasi dan memperkuat penerimaan pajak.
- Dalam jangka menengah-panjang, memperkuat posisi rupiah, memperbaiki cadangan devisa dan memperkuat stabilitas ekonomi makro.
Namun, tantangan juga tidak sedikit. Pakar mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu yurisdiksi dengan risiko transfer pricing yang tinggi karena kombinasi regulasi yang terus berevolusi, enforcement yang semakin tegas, dan risiko transaksi intangible serta layanan antar grup yang sulit dibandingkan. Untuk itu perusahaan harus mulai menyiapkan dokumentasi yang komprehensif, analis fungsi-aset-risiko (FAR), dan benchmarking yang dapat dipertanggungjawabkan jika audit eksternal diwajibkan.
Dengan demikian, langkah pemerintah untuk “menjangkar” valas melalui instrumen audit transfer pricing menjadi semakin relevan. Bila berhasil, bukan hanya penerimaan negara yang meningkat, tapi juga fondasi ekonomi makro Indonesia yang lebih kokoh. Namun, keberhasilan ini sangat tergantung pada regulasi yang jelas, proses implementasi yang terukur, dan kesiapan dunia usaha untuk menyesuaikan diri dengan standar baru.
Sumber: Jangkar Valas, Menkeu Disarankan Atur Kewajiban Audit Transfer Pricing.


