IBX-Jakarta. Isu perpajakan aset kripto terus menjadi topik hangat di kalangan pelaku industri, pembuat kebijakan, dan asosiasi terkait. Dorongan untuk menurunkan tarif pajak kripto kian kuat, dengan harapan dapat meningkatkan minat investor dan mendorong pertumbuhan ekosistem kripto di Indonesia.
Dalam perayaan Bitcoin Pizza Day bertajuk Bitcoin Bites Back pada Kamis, 22 Mei 2025, Co-founder Indodax, Oscar Darmawan, mengungkapkan bahwa diskusi terkait perpajakan kripto telah dilakukan secara intensif bersama Kementerian Keuangan melalui berbagai forum group discussion (FGD).
Sebelumnya, ketika kripto dikategorikan sebagai komoditas, maka dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,1% serta Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 0,1%, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 68.
Namun, dengan perubahan status aset kripto yang kini berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai produk keuangan, bukan lagi sebagai komoditas, seharusnya ketentuan pajak pun ikut berubah. Produk keuangan umumnya tidak dikenai PPN, seperti halnya saham dan instrumen keuangan lainnya.
Sebagai tambahan, regulasi mengenai pajak kripto juga tercantum dalam PMK No. 81 Tahun 2024, khususnya Pasal 359 ayat 2(a), yang menyebutkan bahwa transaksi kripto melalui platform digital dikenai PPh sebesar 0,1% dari nilai transaksi (di luar PPN dan pajak barang mewah), dengan syarat platform tersebut telah disetujui oleh otoritas berwenang berdasarkan peraturan perdagangan berjangka komoditi.
CEO Bitwewe, Hamdi Hassarbaini, turut menyoroti ketimpangan ini. Menurutnya, karena kripto kini dianggap sebagai aset keuangan, maka seharusnya tidak lagi dikenakan PPN seperti sebelumnya. Usulan untuk merevisi PMK No. 81 pun tengah dibahas, dengan harapan agar PPN 0,11% dapat dihapus tanpa menambah beban PPh.
Jika revisi ini terealisasi, maka diperkirakan industri kripto di Indonesia akan lebih menarik bagi pelaku pasar dan memiliki potensi pertumbuhan yang lebih cepat.
Perbandingan Pajak Kripto Indonesia dan Negara Lain
Secara umum, Oscar menilai bahwa sistem perpajakan kripto di Indonesia tergolong cukup baik. Hal ini diamini oleh Andy Lynn dari Crypstocks, yang menilai Indonesia lebih progresif dibanding banyak negara lain.
Sebagai perbandingan, Amerika Serikat memperlakukan aset kripto sebagai properti dengan tarif pajak penghasilan yang bervariasi: 10% hingga 37% untuk keuntungan jangka pendek, dan 15% hingga 20% untuk jangka panjang. NFT bahkan bisa dikenai hingga 28%.
Kanada juga mengenakan pajak atas kripto tergantung status investor, dengan tarif PPh federal yang bisa mencapai 33% ditambah pajak provinsi.
Australia menetapkan pajak penghasilan atas kripto hingga 45%, meski ada potongan 50% untuk keuntungan jangka panjang. Jepang dan Denmark bahkan mengenakan pajak progresif atas keuntungan kripto yang dapat mencapai 55% dan 52% berturut-turut, menjadikannya negara dengan beban pajak tertinggi dalam hal ini.
Meski Jerman sering dianggap ramah terhadap kripto, aset yang dijual dalam waktu kurang dari setahun dikenai pajak hingga 45%. Namun, kripto yang disimpan lebih dari satu tahun dibebaskan dari pajak sepenuhnya.
Di sisi lain, ada pula negara-negara yang membebaskan pajak atas aset kripto, seperti:
- Brunei
- Siprus
- El Salvador
- Hongkong
- Malaysia
- Panama
- Arab Saudi
- Swiss
- Uni Emirat Arab
Dengan mempertimbangkan kondisi global ini, revisi regulasi perpajakan di Indonesia diharapkan bisa menciptakan iklim yang lebih kompetitif dan ramah bagi pelaku industri kripto, serta mendorong pertumbuhan ekosistem keuangan digital secara lebih inklusif.
Sumber : Pajak Aset Kripto Bisa Lebih Murah, Asalkan… (CNBC INDONESIA)


