
IBX-Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan bahwa penerimaan pajak bruto Indonesia pada Maret 2025 menunjukkan pertumbuhan positif sebesar 9,1% dibandingkan Maret tahun sebelumnya. Dalam Sarasehan Ekonomi yang digelar pada Selasa (8/4/2025), ia menekankan bahwa capaian ini mengakhiri tren penurunan yang terjadi selama dua bulan sebelumnya dan meminta masyarakat untuk tidak terlalu cemas terhadap kondisi fiskal negara.
Menurutnya, penerimaan pajak bruto bulan Maret tercatat mencapai Rp170,7 triliun, naik dari Rp156,4 triliun pada Maret 2024. Namun demikian, secara akumulatif dari Januari hingga Maret 2025, total penerimaan bruto masih lebih rendah dibanding tahun lalu—yakni Rp469,9 triliun atau turun 3,3% dari Rp485,4 triliun. Penurunan lebih tajam bahkan terlihat dalam penerimaan pajak neto yang hanya mencapai Rp322,6 triliun, atau anjlok 18,1% dari Rp393,9 triliun tahun lalu.
Ketimpangan antara bruto dan neto ini, menurut Fajry Akbar, Manajer Riset di Center for Indonesia Taxation Analysis, disebabkan oleh besarnya jumlah restitusi pajak yang dikeluarkan pemerintah. Pajak neto merupakan nilai setelah dikurangi restitusi, sementara pajak bruto adalah total setoran sebelum dikurangi apapun. Dengan selisih mencapai Rp147,3 triliun, angka ini menunjukkan tingginya pengembalian pajak yang dilakukan negara.
Fajry menyebut, tingginya restitusi menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara aktivitas produksi dan konsumsi. Sebagai contoh, pengusaha manufaktur mungkin telah melakukan pembelian besar-besaran untuk bahan baku, namun belum diikuti peningkatan penjualan, akibat lesunya permintaan atau strategi menjaga stok di tengah ketidakpastian ekonomi. Data ini pun didukung oleh tren PMI Manufaktur yang sempat naik di awal tahun namun kembali melandai.
Selain itu, Fajry juga menyoroti dampak penurunan harga komoditas utama seperti batu bara, nikel, dan minyak Brent terhadap penerimaan pajak penghasilan (PPh) Badan. Karena pelaporan SPT tahunan menggambarkan kinerja tahun-tahun sebelumnya, maka penurunan harga komoditas pada 2022–2023 kini terlihat dalam penerimaan pajak kuartal pertama 2025.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menambahkan bahwa dua faktor utama di balik penurunan pajak neto adalah harga komoditas yang menurun dan kebijakan administrasi. Ia mencontohkan penerapan tarif efektif rata-rata (TER) untuk PPh 21 yang mulai berlaku sejak Januari 2024, menyebabkan kelebihan bayar sebesar Rp165 triliun. Jika restitusi dari kelebihan bayar itu diklaim awal tahun ini, maka akan menekan penerimaan neto.
Anggito juga menyebut adanya relaksasi pembayaran PPN dalam negeri, yang memungkinkan pembayaran hingga 10 Maret 2025. Setelah disesuaikan dengan kebijakan ini, penerimaan PPN periode Desember 2024–Februari 2025 sebenarnya tumbuh menjadi rata-rata Rp69,5 triliun, lebih tinggi dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Dengan berbagai faktor tersebut, terlihat bahwa meski angka bruto menunjukkan sinyal pemulihan, kondisi fiskal secara neto masih dipengaruhi oleh tekanan dari sisi restitusi dan dampak kebijakan sebelumnya.
*Disclaimer*
Sumber: Sri Mulyani Pamer Penerimaan Pajak Bruto Naik, tapi Data Pajak Neto Tak Seindah Itu (Bisnis.com)


