Intercounbix

Shaping a sustainable future

Transfer Pricing | Accounting | Tax | Business Advisory

Pengenaan Pajak Terhadap Tiktoker: Apa yang Perlu Diketahui?

IBX – Jakarta. Saat ini, banyak Tiktoker terkenal seperti Fuji, yang kontennya selalu berhasil menarik perhatian jutaan orang. Berkat kreativitas dan daya tarik mereka, TikTok menjadi salah satu platform yang paling populer di Indonesia. Tak heran, para kreator konten ini pun meraup keuntungan yang signifikan dari popularitas mereka, baik melalui endorse, iklan, maupun berbagai sumber pendapatan lainnya.

Namun, di balik kesuksesan tersebut, ada satu hal yang tak bisa diabaikan: kewajiban perpajakan. Seiring dengan semakin populernya platform seperti TikTok, pemerintah mulai menerapkan aturan pengenaan pajak terhadap para Tiktoker. Lalu, bagaimana sebenarnya pelaksanaan pengenaan pajak terhadap Tiktoker seperti Fuji dan rekan-rekannya? Apa saja yang perlu dipahami oleh para kreator konten terkait kewajiban pajak ini?

Dengan penghasilan yang diterima oleh para Tiktoker, muncul kewajiban untuk memenuhi pembayaran pajak. Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, objek pajak penghasilan adalah segala bentuk penghasilan. Pajak penghasilan ini meliputi berbagai kategori, seperti orang pribadi, badan usaha, warisan yang belum terbagi, dan badan usaha tetap.

Oleh karena itu, semua Tiktoker yang mendapatkan penghasilan, baik dari endorsement maupun pendapatan lainnya, harus memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan sistem self-assessment yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini, penghasilan yang diterima oleh Tiktoker termasuk dalam kategori penghasilan dari pekerjaan bebas, yang secara umum diatur dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penghasilan tersebut meliputi gaji, honorarium, dan berbagai sumber pendapatan lainnya, seperti yang diterima oleh kreator konten di platform seperti TikTok.

Untuk melaksanakan kewajiban perpajakan tersebut, Tiktoker dapat memilih antara pencatatan atau pembukuan untuk menghitung dan melaporkan pajak yang terutang. Pembukuan biasanya lebih mudah menghindari sengketa karena mengikuti prinsip akuntansi yang jelas, sedangkan pencatatan dengan norma persentase penghasilan neto bisa lebih membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015, Tiktoker yang memiliki omzet lebih dari Rp4.800.000.000 per tahun wajib melakukan pembukuan, sementara yang omzetnya di bawah jumlah tersebut dapat memilih antara pencatatan atau pembukuan. Norma penghitungan penghasilan neto juga diatur berdasarkan wilayah, dengan tarif yang berbeda tergantung lokasi usaha.

Penetapan Tiktoker sebagai bagian dari kategori pekerja seni, sesuai dengan Lampiran I Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang Norma Penghitungan Penghasilan Neto, yang termasuk dalam Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) nomor 90002, dengan persentase norma penghitungan penghasilan neto sebesar 50% (lima puluh persen) untuk wajib pajak orang pribadi, sudah sesuai. Hal ini karena secara umum, Tiktoker menciptakan karya dan menghasilkan pendapatan yang mirip dengan kegiatan iklan di televisi, yang juga dikategorikan sebagai pekerja seni. Konten yang dominan di TikTok, yang sebagian besar bertujuan untuk menghibur, memiliki kesamaan karakteristik dengan karya seni, menjadikan penggolongan ini relevan.

Sebagai contoh, Tiktoker yang berada di Jakarta, sebagai ibukota provinsi, akan dikenakan norma penghitungan penghasilan neto sebesar 50%. Dengan mengacu pada ketentuan ini, pajak yang terutang akan dihitung berdasarkan penghasilan bruto yang diperoleh, dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berlaku, kemudian dikenakan tarif progresif sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Sumber : Pelaksanaan Pengenaan Pajak terhadap Tiktoker serta Hambatannya di Indonesia

Recent Posts

E-Money dan Uang Digital Siap Masuk Data Pajak Global pada 2026!

IBX – Jakarta. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa mulai tahun 2026, pertukaran informasi keuangan antarnegara secara otomatis (Automatic Exchange of Information / AEOI) akan mencakup lebih banyak jenis data. Perluasan ini mencakup rekening produk uang elektronik (e-money) dan mata uang digital yang diterbitkan oleh bank sentral (Central

Read More »

Tidak Penuhi Syarat Formil, Gugatan Pajak Pensiun Dipatahkan MK

IBX – Jakarta. Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi atas ketentuan pajak progresif terhadap pesangon dan manfaat pensiun dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan. Putusan Nomor 170/PUU-XXIII/2025 tersebut diputus pada Kamis (30/10/2025). Majelis menilai permohonan dari dua pegawai swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, tidak memenuhi syarat formil maupun substansi sehingga

Read More »

Pemerintah Hati-hati Hitung Peluang Penurunan Tarif PPN

IBX – Jakarta. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tengah menimbang ulang rencana penurunan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini berada di level 11%. Ia menyadari kebijakan ini tidak bisa diambil dengan ringan, karena setiap penurunan 1% berarti potensi hilangnya penerimaan negara hingga Rp70 triliun. Purbaya mengaku, sebelum menjabat

Read More »