IBX-Jakarta. OECD mendefinisikan Treaty Shopping sebagai suatu praktik yang dilakukan oleh individu atau entitas untuk memanfaatkan perjanjian pajak antarnegara dengan cara yang tidak semestinya (treaty abuse). Dalam konteks BEPS (Base Erosion and Profit Shifting), treaty abuse merupakan salah satu hal yang menjadi kekhawatiran utama.
Victor Thuronyi juga turut menjelaskan, treaty shopping sebagai suatu praktik yang dilakukan oleh Wajib Pajak suatu negara yang tidak memiliki tax treaty dan mendirikan subsidiary atau anak perusahaan di negara yang memiliki tax treaty, kemudian melakukan kegiatan investasinya melalui subsidiary tersebut, sehinggainvestor tersebut dapat menikmati tarif pajak rendah dan fasilitas-fasilitas perpajakan lainnya yang tercantum dalam tax treaty tersebut.
Di sisi lain, adanya klaim terhadap manfaat dan fasilitas tersebut dapat menyebabkan kerugian bagi kedaulatan pajak negara dan menjadi isu yang harus dihadapi oleh Anggota Kerangka Inklusif BEPS.
Adapun dampak lebih lanjut dari adanya praktik treaty shopping yang dilansir dari Pajak.com (13/04/2024) diantaranya, yang pertama dengan adanya praktik ini dapat menyebabkan dinamika perubahan ekonomi perjanjian pajak dengan memperluas manfaatnya ke pihak ketiga yang tidak diinginkan. Hal ini dapat merusak prinsip kesetaraan dan timbal balik yang menjadi dasar perjanjian tersebut.
Selain itu, dampak berikutnya adalah dapat mengakibatkan penghindaran pajak, dimana pendapatan yang diperoleh dapat dikenai pajak yang lebih rendah dari tarif seharusnya atau dapat juga pendapatan yang seharusnya dikenai pajak menjadi tidak terpajaki akibat adanya praktik treaty shopping ini.
Dampak yang ketiga adalah berupa berkurangnya insentif dalam hal negosiasi perjanjian pajak antar yurisdiksi, sehingga dapat mengubah insentif bagi negara-negara untuk berpartisipasi dalam sistem perjanjian pajak global. Hal ini disebabkan karena penerima manfaat akhir dapat memperoleh keuntungan dari perjanjian tanpa adanya kewajiban untuk memberikan kontribusi yang setara.
Implikasi tersebut yang kemudian menjadi kekhawatiran utama, sehingga terdapat upaya-upaya OECD yang dilakukan dalam rangka mengatasi kekhawatiran yang timbul dari adanya praktik treaty shopping.
Melansir kembali dari Pajak.com (13/04/2024), upaya OECD dalam melakukan penanganan treaty shopping merupakan bagian integral dari inisiatif BEPS yang lebih luas. Action 6 Report menetapkan standar miimum sebagai upaya dalam rangka mencegah penyalahgunaan perjanjian pajak, termasuk treaty shopping.
OECD menyatakan adanya komitmen dari Anggota Kerja Inklusif BEPS untuk memasukkan ketentuan yang dirancang untuk melakukan penawaran terkait perlindungan terhadap praktik ini dalam perjanjian pajak mereka. Lebih lanjut, adanya fleksibilitas dalam implementasi memungkinkan penyesuaian dengan kondisi spesifik setiap yurisdiksi.
Untuk dapat memenuhi standar minimum yang ditetapkan dalam Action 6 Report, terdapat dua komponen yang harus dimasukkan dalam perjanjian pajak adalah pernyataan eksplisit tentang tujuan non pajak dan salah satu dari tiga metode yang disetujui untuk menangani treaty shopping. Selanjutnya yaitu melalui BEPS Multilateral Instrument (MLI). BEPS MLI ini bertujuan untuk memfasilitasi modifikasi cepat dari perjanjian pajak bilateral untuk memasukkan standar minimum dan ukuran terkait lainnya.
Sebagai hasilnya, OECD mengklaim bahwa hasil implementasi standar minimum Action 6 menunjukkan kemajuan yang signifikan. BEPS MLI juga terbukti menjadi alat yang efektif dan memungkinkan yurisdiksi untuk secara cepat mengimplementasikan standar minimum dan mengatasi tantangan treaty shopping.
Dengan demikian, melalui ketentuan BEPS MLI yang telah berlaku tersebut, administrasi pajak di berbagai negara kini memiliki alat yang lebih baik dalam rangka melakukan pencegahan terhadap praktik treaty shopping dan memastikan penerapan perjanjian pajak yang lebih adil dan efektif.
Sumber: Mengenal “Treaty Shopping”, Dampak, dan Langkah Pencegahannya (Pajak.com)