IBX-Jakarta. Setelah sebelumnya dibahas mengenai istilah primary adjustment dalam artikel “Apa itu Preliminary Stages dalam Transfer Pricing?”, terdapat juga istilah lain yang berkaitan, yaitu secondary adjustment. Berdasarkan OECD 2022, “secondary adjustment is an adjustment that arises from imposing tax on a secondary transaction. Secondary transaction is a constructive transaction that some jurisdictions will assert under their domestic legislation after having proposed a primary adjustment in order to make the actual allocation of profits consistent with the primary adjustment. Secondary transactions may take the form of constructive dividends, constructive equity contributions, or constructive loans”.
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa secondary adjustment adalah koreksi lanjutan atas primary adjustment yang dikenakan pada transaksi afiliasi atau transfer pricing antar anggota grup usaha, guna menjaga konsistensi posisi pajak dan pencatatan keuangan perusahaan sebagai akibat dari koreksi harga transfer. Bila dalam primary adjustment terjadi peningkatan penghasilan kena pajak pada Wajib Pajak (baik melalui koreksi positif terhadap penghasilan maupun koreksi negatif terhadap biaya), maka dalam secondary adjustment, peningkatan penghasilan tersebut selanjutnya dapat diperlakukan sebagai dividen, kontribusi ekuitas, atau pinjaman antar perusahaan.
Penerapan Secondary Adjustment dalam PMK 172/2023 di Indonesia
Sebelum diberlakukannya PMK 172/2023, ketentuan mengenai secondary adjustment telah diatur dalam Pasal 22 ayat (8) PMK 22/PMK.03/2020. Namun, aturan tersebut kini dicabut dan digantikan oleh ketentuan baru dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b PMK 172/2023.
Mengacu pada Pasal 37 ayat (1) huruf b PMK 172/2023, jika terjadi selisih atau koreksi atas harga transfer (ALP) oleh DJP, selisihnya dianggap sebagai pembagian dividen kepada pihak afiliasi. Jika transaksi dilakukan antar sesama Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN), biasanya tidak menimbulkan kewajiban pajak tambahan karena dividen antar WPDN Badan merupakan non-objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh. Namun, hal ini masih menuai perdebatan karena Pasal 24 PMK 18/2021 mengharuskan adanya RUPS agar dividen dikecualikan dari objek PPh.
Beda halnya jika transaksi dilakukan dengan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN). Koreksi ALP yang dianggap sebagai dividen akan dikenai PPh Pasal 26 dan menjadi tanggung jawab WPDN untuk memotong dan menyetorkannya. Jika tidak dilakukan, DJP dapat menerbitkan SKPKB dan mengenakan sanksi atas PPh 26 yang tidak dipotong.
Sesuai Pasal 37 ayat (4) PMK 172/2023, dampak secondary adjustment (selisih dianggap sebagai dividen) dapat dikecualikan jika:
- Wajib Pajak melakukan penambahan atau pengembalian kas/setara kas sebesar selisih koreksi; dan/atau
- Wajib Pajak menyetujui penentuan harga transfer yang ditetapkan oleh DJP.
*Disclaimer*
Sumber: OECD TP Guidelines 2022; PMK Nomor 172 Tahun 2023